Percaya Dan Mempercayai Tuhan, Oleh : Ilham Sopu

Ilham Sopu

Ajaran-ajaran keagamaan adalah fitrah atau jatidiri kemanusiaan. Kehadiran manusia dimuka bumi, tidaklah diturunkan begitu saja tanpa ada pendamping hidup. Tuhan sudah memberikan fasilitas yang begitu sempurna untuk mengawal kehidupan manusia di dunia ini. Adam sebelum diturunkan ke bumi,  ditransitkan dulu ke surga, untuk diberikan pembekalan sebelum turun ke bumi. Surga yang ditempati Adam dilengkapi banyak fasilitas, setidak ada dua fasilitas yaitu fasiltas perintah dan fasilitas larangan. Perintah untuk menikmati kehidupan di surga yang begitu nikmat, mereka berdua bebas untuk menikmati seluruh fasilitas surga.

Dibalik perintah Tuhan dalam Al-Qur'an itu mengandung suatu kenikmatan, namun kadang manusia tidak merasakannya karena manusia tidak khusu' dalam menjalankan ajaran agama, disamping ada pengaruh atau godaan-godaan yang sifatnya duniawi. Begitupun seluruh larangan-larangan dalam Al-Qur'an itu akan membawa manusia yang melanggar larangan tersebut, akan terjatuh ke lembah yang hina.  Salah satu contoh yang diinformasikan oleh Al-Qur'an adalah terjatuhnya Nabi Adam ketika memakan buah khuldi yang merupakan buah dari pohon terlarang.

Tuhan sudah memberikan statement kepada Adam, untuk tidak mendekati pohon khuldi, ini adalah bentuk larangan dari Tuhan, tapi Adam melanggar larangan tersebut, akhirnya dia terjatuh, atau dilempar ke bumi, ini adalah salah satu keterjauhan dari sisi Tuhan ketika kita melanggar perintahnya. Melaksanakan perintah Tuhan adalah bagian dari fitrah kemanusiaan, demikian juga tidak menghindari larangannya juga bagian dari fitrah kemanusiaan.

Beriman itu adalah bagian dari fitrah kemanusiaan, potensi keberimanan juga bagian dari fitrah kemanusiaan. Namun demikian iman itu sifatnya dinamis atau fluktuatif.  Dalam bahasa hadis iman itu bisa "Yazid" bisa juga "yankus", yakni tertambah dan berkurang, jadi iman itu pada hakekatnya adalah wujud atau kategori yang dinamis. Iman bukanlah wujud atau kategori statis, yaitu sesuatu yang sekali terbentuk maka dia akan ada menurut bentuknya itu tanpa berubah.

Ada yang menarik dari keberimanan orang kafir Quraisy, seperti diungkapkan dalam Al-Qur'an, "Dan jika engkau (Muhammad) bertanya kepada mereka (kaum musyrik), 'Siapa yang menciptakan langit dan bumi? Pasti mereka akan menjawab, Allah, Maka bagaimana mereka dapat terpalingkan (dari kebenaran)?' (QS.43.87).

Orang musyrik Makkah itu percaya akan adanya Allah, dalam bahasa Caknur panggilan akrab dari Nurcholish Madjid, bahwa iman itu tak cukup hanya "percaya" kepada Allah, tetapi harus mempercayai dan menaruh kepercayaan kepada Tuhan, itulah beriman yang sebenarnya. Kekeliruan kaum musyrik Makkah adalah mereka hanya percaya kepada Allah, tetapi tidak mempercayai Allah, buktinya mereka lebih percaya kepada berhala-berhala yang ada pada waktu itu, mereka minta perlindungan, pertolongan, keselamatan kepada berhala-berhala ciptaan mereka sendiri.

Dalam konteks ini, bertauhid sebenarnya adalah bagaimana kita memaknai kalimat secara kontekstual, yakni mencoba bertauhid dengan melakukan pembebasan diri terhadap berbagai kepercayaan-kepercayaan diluar dari kepercayaan kepada Tuhan, kalimat tauhid itu dimulai dari "La", yang artinya tidak, atau nafyun, ini adalah kata pembebas dari berbagai kepercayaan yang mengalahkan kepercayaan kepada Tuhan.  Membebaskan kemudian meneguhkan kepercayaan kepada Tuhan, begitulah bertauhid yang benar, atau bertauhid secara kontekstual.

Di zaman modern sekarang, mungkin kita tidak akan menemukan bentuk berhala yang digantung di depan mesjid, atau menyembah batu secara kasat mata, tapi berhala-berhala modern banyak yang muncul, berhala itu, apa saja bisa menghambat seseorang untuk melakukan ibadah kepada Tuhan, kita semua tanpa kecuali percaya kepada Tuhan, tetapi mungkin kita hanya sekedar percaya adanya Tuhan, seperti yang dilakukan orang-orang musyrik Makkah pada masa Nabi, tapi kita belum mempercayai dan menaruh kepercayaan kepada Tuhan.

(Bumi Pambusuang,  30 April 2023)


Opini LAINNYA