Gus Nadir panggilan akrab dari Prof Dr Nadirsyah Hosen, adalah cendekiawan yang ulama, atau ulama yang cendekiawan. Dalam bidang keilmuan, Gus Nadir punya keahlian dibidang spesifikasi hukum dan syariah, namun tulisan-tulisannya banyak juga menyinggung tentang hadis dan tafsir. Keulamaan Gus Nadir termasuk langka, karena penguasaannya dalam berbagai ilmu keislaman, seperti penguasaannya terhadap kitab-kitab keislaman klasik dan begitupun ilmu-ilmu keislaman kontemporer. Sangat jarang kita mendapati seorang cendekiawan yang punya akses penguasaan terhadap kitab-kitab klasik, sekaligus juga penguasaan terhadap kitab-kitab kontemporer.
Jaringan intelektual Gus Nadir merupakan warisan dari ayahandanya, Prof KH Ibrahim Hosen, yang juga merupakan seorang ulama besar, ulama yang disegani di tahun 70 an sampai 90 an, yang terkenal dengan fatwa-fatwanya yang kontroversial. Keintelektualan Gus Nadir adalah merupakan titisan dari seorang Kiai besar yang selalu membongkar kemapanan pada zamannya, Kiai Ibrahim Hosen hampir seangkatan dengan Prof Harun Nasution.
Gus Nadir sangat produktif dalam menulis dan sudah menerbitkan berbagai buku yang masuk dalam kategori best seller, tulisan-tulisannya maupun buku-bukunya sangat mudah untuk dicernah dan mudah dipahami. Kelebihan Gus Nadir bagaimana beratnya suatu pembahasan, tapi Gus Nadir membahasakan dengan bahasa yang ringan dan tetap punya nilai yang argumentatif, beserta referensi dari berbagai sumber tokoh-tokoh yang otoritatif dibidangnya.
Ada yang menarik dari karya terkini dari Gus Nadir yakni bukunya yang berjudul "Ketika Qur'an jatuh di hati hamba yang merasa biasa", tafsir naratif inspiratif juz Amma, suatu genre baru dalam penulisan tafsir, suatu corak tafsir memuat kisah naratif yang menghidupkan kalamullah di tengah denyut kehidupan kita, suatu penafsiran yang menggunakan bahasa renyah dan mudah dipahami, membuat tafsir Qur'an tidak berjarak dengan realitas manusia masa kini yang kita hadapi sehari-hari.
Bagi seorang Gus Nadir, bahwa cahaya Al-Qur'an tidak pernah pilih kasih. Gus Nadir dalam prolognya melemparkan suatu pertanyaan, apa mungkin seorang yang hidupnya serbabiasa dapat terkoneksi dengan kandungan dan makna Al-Qur'an?, apakah cuma yang punya otoritas keilmuannya, punya pemahaman bahasa arab yang baik, atau memahami kaidah-kaidah tafsir yang akan mendapatkan pancaran atau terkoneksi dengan Al-Qur'an?.
Jawaban Gus Nadir, tentu saja orang hidupnya sederhana, serbabiasa, yang pemahamannya terhadap Al-Qur'an sangat terbatas, bisa jadi terkoneksi dengan kandungan Al-Quran, Al-Qur'an sendiri menyebut dirinya sebagai "hudan linnas", petunjuk bagi seluruh manusia. Dalam pandangan Gus Nadir, mereka yang berilmu mungkin memahami kedalaman ayat-ayat Al-Quran melalui studi dan kajian, namun ada jalur lain yang tak kalah indah yakni jalur kasih sayang Allah, jalur ini tidak membutuhkan pengetahuan formal, tetapi cukup dengan keikhlasan hati untuk menerima sapaan Allah lewat ayat demi ayatNya, Allah Maha Penyayang dan kasih sayang-Nya melampaui batas logika manusia.
Dalam pandangan Gus Nadir bahwa Al-Qur'an adalah surat cinta Allah kepada seluruh makhluk-Nya tidak pernah memilih-milih, cukup dengan hati yang terbuka maka cahaya-Nya akan langsung menerangi seisi jiwa. Dalam kesibukan, dalam kesederhanaan, bahkan dalam keterbatasan, Al-Qur'an selalu bisa ditemukan. Maka jangan pernah merasa terlalu kecil untuk menerima cahaya-Nya, karena kasih sayang Allah meliputi seluruh hamba-Nya, tanpa terkecuali.
Di sinilah kelebihan buku tafsir dari Gus Nadir, yang melakukan pendekatan tafsir versi yang dicoba diramu dalam pendekatan yang lebih menyentuh realitas kehidupan hari ini. Dan sangat berbeda dengan tafsir-tafsir tradisional atau tafsir konvensional yang dirintis oleh ulama-ulama masa lalu. Pendekatan Gus Nadir dalam menafsirkan Al-Quran dalam hal ini juz Amma, dengan mengawali suatu cerita yang berkaitan dengan problem-problem kehidupan yang dialam oleh berbagai manusia modern saat ini. Dan berangkat dari sini, Gus Nadir mencoba untuk mengaitkan dengan ayat-ayat yang akan dibahas, dan dikupas dengan pendekatan sosiologi, tentu saja tanpa melupakan pendekatan-pendekatan tafsir tradisional dan kebahasaan.
Di sini kita dapat belajar tafsir lewat cerita-cerita yang biasa terjadi dalam suatu masyarakat, Gus Nadir sangat lihai dalam mencoba untuk menghubungkan secara jitu, pokok bahasan dengan tafsir ayat yang menjadi pokok pembahasan. Ada kelebihan yang lain dari model penafsiran yang dicoba digagas oleh Gus Nadir, yakni secara tidak langsung kita dibiasakan untuk membaca teks yang menjadi pokok bahasan dalam surah tersebut.
Dan sangat menarik juga model penafsirannya, ketika mengakhiri suatu pembahasan surah, Gus Nadir menyuguhkan suatu doa yang sangat menarik, dan doa tersebut disadur dari inti pokok pembahasan surah tersebut. Misalnya ketika membahas surah "Al Bayyinah", dan mengakhiri penafsiran dengan doa yang disusun sendiri oleh Gus Nadir dengan mengutip inti dari surah albayyinah yakni, "Allahumma arinaa Al bayyinah fi hayatinah, wa fi kitabika, wa fi rasulika, wa fi nuuri qulubina, hatta nakuna min khaeril bariyyah" yang artinya "Ya Allah, tunjukkanlah kebenaran yang nyata dalam hidup kami, dalam kitab-Mu, dalam Rasul-Mu, dan dalam cahaya hati kami agar kami termasuk sebaik-baik makhluk-Mu."
Inilah versi baru dalam penafsiran terhadap Al-Qur'an, versi Gus Nadir panggilan akrab dari Prof.Dr.H.Nadirsyah Hosen,LL.M.,M.A.,Ph.D. Dalam endosmennya Prof Nasaruddin Umar, menteri agama, mengatakan, Inilah corak baru tafsir, "kisah naratif yang menghidupkan kalamullah di tengah denyut kehidupan kita."
(Bumi Pambusuang, 27 November 2025)