Nilai "Puang" Dalam Perspektif Kearifan Lokal

Oleh: Burhanuddin Hamal (Penyuluh Agama Islam Fungsional KUA Kec. Tinambung Polewali Mandar)

Sebagai bentuk penghargaan dalam berinterakai sosial maka sapaan PUANG khususnya dalam keseharian masyarakat Balanipa Mandar (Sulbar) diperuntukkan bagi sosok yang berumur lebih tua. Muatan pencitraan diri tersebut tergambar lewat analogi "lambe' marappanna pa'banua" (tempat dimana masyarakat menaungkan harapan dan mengadukan keluh kesah).

Tak hanya itu, makna implisit dari sapaan PUANG juga tertuang dalam harapan bahwa semakin bertambahnya umur seseorang, "kedewasaan sosoknya" pun makin diharapkan menjadi pengayom dan teladan bagi sentralnya permasalahan kehidupan di sekitarnya (sinergitas muatan QS. Al-Anbiya': 107).

Itulah sebabnya, mereka yang secara kultur disapa lewat panggilan Puang, baik karena faktor senioritas umur ataupun "ditetuakan" karena latar strata sosial hendaknya tak justru menuai karakter diri yang egois dan arogan. Hal yang lebih utama adalah ketika sosoknya mampu memerankan kemuliaan sifat-sifat Tuhan seperti pengasih, penyayang, pemaaf, adil dan bijaksana serta sifat-sifat tertentu lainnya yang penerapannya berkenaan dengan capaian kemaslahatan sosial maka Dialah figur Khalifah Tuhan yang sesungguhnya. Konsepsi ini sejalan dengan orientasi muatan QS. Al-Baqarah: 30.

Dengan begitu, menyandang identitas "Puang" dalam konteks kearifan lokal sesungguhnya berisi pesan-pesan moral yang secara sosial memerlukan bukti-bukti kongkrit dan pertanggung-jawaban realitas dari apa yang disebut "atauang" (mutu diri). Di sana ada sederet nilai-nilai luhur, kebenaran dan kemuliaan, kepribadian yang santun, kewibawaan yang anggun dan disegani serta keteladanan yang tercermin lewat budi pekerti. Di saat yang sama, tampilnya sosok-sosok manusia yang terpasung dalam hasutan egoisme dan ragamnya keangkuhan sosial justru mencerminkan kegagalan didalam memaknai eksistensi diri.

Terkait ini, dulu dalam sejarah lokal terlintas sindiran positif dari orang-orang di luar Balanipa, berbunyi:
"natama' di Balanipa maindang kero Puang naupokeroi naung melimbo-limbo....." (aku hendak ke Balanipa, untuk belajar mengenal tegur sapa yang sopan dan gerak langkah yang santun, yang akan menjadi penuntun manusiawiku dalam meniti kehidupan).

Maka, demi "nilai-nilai Amandaran" yang relevansi agamisnya penting dibangun ke masa depan, tentu saja logis bagi kita melakukan introspeksi diri tentang dimanakah wujud KERO PUANG itu sekarang. Masihkah ia ada atau boleh jadi kita terjebak dalam krisis nilai peradaban yang mengharuskan kita mencari untuk menemukannya kembali ?.....

Ushini Waiyyakum bitaqwallah, Wallahu a'lam bissawab.


Opini LAINNYA

Pesan Taqwa Di Mesjid Syuhada

Atas Nama Tuhan Minus Al-Rahman Al-Rahim

URGENSI SIRI'

Pesan Kemerdekaan

Tiga Pendekar Dari Jombang

Tradisi Hasyiyah Ulama Klasik