MERESPON MUSIM "LAYANG-LAYANGAN"

Oleh: Burhanuddin Hamal (Penyuluh Agama Islam Fungsional KUA Kec. Tinambung Polewali Mandar)

Diantara fenomena masyarakat lokal khususnya yang berdiam di kawasan Balanipa Mandar Kec. Tinambung adalah keantusiasan merespon musim layang-layangan pada setiap tahunnya. Tujuan menghibur diri lewat ekspresi hobi yang klasik ini menitipkan beberapa hikmah-hikmah kehidupan yabg penting direnungkan bersama.

Pembuatan setiap layang-layangan yang entah dalam jenis dan bentuk apapun mempunyai ukuran-ukuran tertentu yang saling bersinergi. Antar bagian dari rakitan rangkanya tentu saja harus disetting dalam simetris keseimbangan agar capaian mengudaranya bisa maksimal dan stabil.

Ketika hal tentang "layang-layangan" ini dianalogikan pada kehidupan manusia maka analisisnya sebagai berikut :

(1). Setiap tahunnya, hanya sekitar beberapa bulan saja tepatnya di bulan Juni hingga September dikenal sebagai musim layang-layangan. Sebuah pembelajaran bahwa menyangkut apapun selain Tuhan pasti terikat oleh dimensi waktu dan geraknya ruang. Keterkaitan dengan waktu identik dengan kesempatan yang harus dimanfaatkan oleh manusia sebelum datangnya kesempitan. Belum lagi masa muda sebelum datangnya masa tua, kaya sebelum miskin, sehat sebelum sakit dan hidup sebelum kematian menjemput (Hadits Nabi). 

Semua ini menunjukkan betapa otoritas waktu terkait eksistensi diri manusia bagaikan pedang bermata dua. Mengolahnya dalam hal-hal yang positif akan menghasilkan manfaat dan kemaslahatan. Begitu juga menggunakannya dalam hal-hal yang negatif akan berkonsekuensi petaka dan kemudharatan. 

Pesan agamis ini juga dilegitimasi oleh muatan QS. Al-Asr: 1-3 dimana terkait urgensi waktu maka hanya ada empat golongan manusia yang dikecualikan terhindar dari ancaman kerugian. Mereka itu adalah yang beriman, beramal shaleh, saling mengingatkan pada jalan kebenaran dan saling menasehatkan tentang pentingnya peran kesabaran.

(2). Ukuran keseimbangan yang menjadi syarat layang-layangan bisa mengudara dan agar tenang bertahan dalam terpaan angin tak lain merupakan analogi pengabdian manusia yang harus dikemas dalam formulasi sisi yang seimbang. Sinergitas antara "hablun minallah wa hablun minannas" (hubungan vertikal dan horisontal), termasuk ragamnya status sosial yang tersatukan dalam prinsip "sipakatau" (saling menghargai dalam perbedaan status) merupakan syarat terbangunnya peradaban mala'bi di masa depan. Tanpa nilai-nilai keseimbangan maka perilaku manusia berpotensi "dipertanyakan" atau eksistensinya menjadi "bumerang" dalam kehidupan sosial.

Karena itu demi keseimbangan, logis jika Nabi mengingatkan bahwa "sebaik-baik perkara adalah yang ranahnya di pertengahan". Tentu saja penjabarannya adalah saat kita berada di pertengahan maka keseimbangan terkait pengendalian sisi-sisi kehidupan bisa kita perankan.

(3). Bermain layang-layangan sebagai media merefres diri, tak jarang mempersaingkan kecenderungan para pecandu untuk membuat layangan dalam ukuran yang lebih fantastis. Hanya saja selain menjadi reputasi dan kebanggaan tersendiri, beban pengendaliannya pun pasti lebih menantang dan menguras energi. 

Filosofinya adalah kehidupan manusia jangan sampai terjebak oleh persaingan relatifitas keingiinan tetapi idealnya didasarkan pada fakta kebutuhan. "Besar pasak daripada tiang" adalah refleksi cara hidup manusia yang pusaran ketidak-seimbangannya ditaktis oleh nafsu yang ambisius. Maka untuk pengendaliannya, muatan QS. Yusuf: 53 relevan menjadi solusi kajian.

Ushikum wanafsi bitaqwallah, Wallahu a'lam bisshawab.


Opini LAINNYA