Ada tiga pilar dalam beragama, sebagaimana yang pernah ditanyakan oleh Jibril kepada Muhammad SAW, yakni iman, islam dan ihsan. Ketiganya saling terkait, iman itu terkait dengan akidah atau pondasi, islam itu sebagai proses dari keimanan sedangkan ihsan hasil dari keimanan dan keislaman, atau output dalam beragama. Iman itu sifatnya pribadi atau privat, iman seseorang tidak dapat dideteksi oleh orang lain. Namun demikian iman seseorang akan berdampak dalam amal sosialnya.
Di sisi lain menurut hadis dikatakan bahwa iman itu sifatnya fluktuatif, bisa menguat dan bisa melemah, atau iman itu yazidu wa yanqus, iman itu menguat ketika kita banyak melakukan ketaatan-ketaatan dalam perintah agama, dan melemah ketika kita banyak melakukan kemaksiatan.
Suatu ketika Nabi secara spontan bertanya kepada para sahabatnya, "Apakah kamu sekalian beriman?", dan dijawab oleh para sahabat, "kami beriman ya Rasulullah". Lalu Nabi melanjutkan pertanyaannya, "apa tandanya bahwa kamu beriman?", kemudian dijawab kembali oleh para sahabat, "Kami orang bersyukur kepada Allah karena memperoleh kecukupan, kemewahan, atau kemakmuran hidup. Kami juga bisa bersabar atas cobaan-cobaan yang kami terima. Dan Kami sudah bisa menerima, sudah merasa puas(ridlo) dengan apa yang ditetapkan oleh Tuhan".
Mendengar jawaban sahabat tersebut, Nabi berkomentar, "kalian memang sudah beriman demi Tuhannya Ka'bah ini". Dengan melihat jawaban sahabat tersebut, bahwa iman itu membutuhkan pembuktian atau manifestasi. Bahwa bukti keimanan itu adalah kesediaan untuk bersyukur, bersabar dan ridho terhadap keputusan Tuhan. Jadi iman itu bukan hanya ucapan verbal bahwa saya telah beriman, tetapi ada kelanjutan terhadap ucapan verbal tersebut. Itulah sebab para ulama mendefinisikan iman dengan tasdiqun bilqalbi, ikrarun billisan dan amalan bil arkan, dibenarkan oleh hati, diucapkan dengan lisan dan diamalkan dengan anggota tubuh. Ini sangat sejalan dengan jawaban sahabat di atas.
Dalam dialog antara Nabi dengan malaikat Jibril, ketika Jibril mendatangi Nabi dengan para sahabatnya, jawaban Nabi terhadap pertanyaan Jibril tentang iman, Islam dan Ihsan. Disitu Nabi menjawab seluruh pertanyaan Jibril. Dan jawaban Nabi tentang iman, itu bukanlah definisi tentang iman tapi itu adalah obyek-obyek yang harus diimani, dan inilah menjadi dasar para ulama dalam menetapkan rukun-rukun iman.
Jadi iman itu bukanlah hal yang statis, bukan hanya sifatnya eskatologis yaitu kepercayaan yang gaib saja, memang kita membaca seluruh rukun-rukun iman itu adalah sifatnya semua gaib, mulai dari beriman kepada Allah sampai kepada hari akhir. Namun dalam implementasinya, itu sangat terkait dengan ranah sosial kemasyarakatan. Banyak hadis-hadis Nabi yang menggambarkan hal tersebut, bahwa iman itu berlanjut dengan aksi-aksi sosial, ada dinamisasi iman yang harus diterjemahkan dalam amal atau kerja-kerja sosial.
Dalam teks hadis dikatakan bahwa barang siapa beriman kepada Allah dan hari kemudian, hendaklah menjalin silaturrahim. Beriman kepada Allah dan hari kemudian, itu sifatnya eskatologis, tetapi kelanjutan hadis tersebut adalah menyambung silaturrahim, itulah implementasi dari iman kepada Allah dan hari akhir. Ada dua hal yang tidak bisa dipisahkan dari keberagamaan yaitu iman dalam bentuk keyakinan terhadap yang gaib dan implementasi dari dari keyakinan tersebut.
Dengan iman seperti di atas kita akan merasakan manisnya iman. Seperti yang pernah disampaikan oleh Nabi bahwa siapa yang memiliki tiga hal dia akan merasakan manisnya iman, Yang pertama adalah orang yang mencintai Allah dan Rasulnya, di atas dari pada yang lain. Cinta kepada Allah dan Rasul adalah suatu keniscayaan, cinta seperti inilah yang akan mendapatkan manisnya iman, menjadikan Allah dan Rasul sebagai rujukan utama dalam menjalankan aktifitas kehidupan sosial keseharian.
Kemudian yang kedua, adalah orang mencintai sesamanya tanpa pamrih semata-mata karena didasari Allah. Cintanya kepada sesama betul-betul ikhlas, tanpa ada embel-embel yang lain. Kebanyakan manusia banyak dipengaruhi faktor eks dalam melakukan hubungan antar sesama, selalu ada muncul pamrih. dengan demikian akan sulit mendapatkan manisnya iman dalam kehidupannya.
Dan yang terakhir adalah orang yang tidak suka atau kembali ke perbuatan-perbuatan yang tidak baik yang pernah dia lakukan, mereka sudah melakukan pertobatan, dan tidak akan kembali melakukan perbuatan-perbuatan yang salah. Itulah yang akan mendapatkan atau merasakan bagaimana manisnya iman, bagaimana beragama dengan nyaman.
(Bumi Pambusuang, 27 Maret 2025)
