Hampir setiap sisi dari kehidupan ini, sosial, agama, budaya, ekonomi, kesehatan, pendidikan terlebih politik tak pernah luput dari sorotan publik. Selalu ada saja topik dari masing-masing ranah kehidupan di atas hangat untuk diperbincangkan. Dari hal kecil dibesar-besarkan hingga hal besar digoreng habis-habisan sampai hangus. Mengapa demikian? Karena masing-masing orang memiliki persepsi yang berbeda-beda dan kepentingan tertentu.
Apakah semua persoalan atau isu-isu yang berseliweran di publik perlu kita tanqgapi? Tidak. Semua persoalan yang terjadi tidak perlu kita tanggapi, karena boleh jadi dan sangat mungkin respon terhadap persoalan itu justru semakin memantik keributan publik. Kalaupun kita harus ikut memberikan respon, paling tidak kita memiliki dasar atau pengetahuan terhadap sesuatu yang dibicarakan, itupun tidak boleh berlebihan dan paling utama menjaga adab.
Persoalan itu tidak cukup dengan pandangan kacamata hitam-putih Saja. Bisa jadi apa yang kita lihat dan dengar tidak seperti yang semestinya, apalagi jika pengetahuan kita terhadap suatu persoalan terbatas. Semuanya butuh kajian mendalam, tidak boleh cepat menyimpulkan ini benar itu salah.
Makanya, orang berilmu itu sangat berhati - hati dalam menanggapi setiap persoalan, mereka tidak banyak bicara. Berbeda dengan yang sedikit ilmunya, baru membaca, dan nonton sebentar langsung banyak bicara dan menyimpulkan.
M. Quraish Sihab mengingatkan, jangan berbicara menyangkut apa yang kamu tidak ketahui, jangan semua yang kamu ketahui kamu bicarakan. Jika ada orang lain yang bisa berbicara, diamlah, karena kalau dia benar dan kamu hadir di situ, Kamu akan dinilai setuju pendapatnya. Tapi kalau dia salah, kesalahannya hanya tertuju pada dia, Anda tidak salah. Kepada pengguna media sosial beliau berpesan agar membatasi pembicaraan, jangan mengungkap semua.
Diam lebih baik daripada bicara. Terkadang orang yang banyak bicara tidak dapat mengendalikan diri sehingga boleh jadi pembicaraannya itu dapat menyakiti bahkan merugikan orang lain. Apalagi kalau topik pembicaraannya adalah sesuatu yang berlebihan, seperti membicarakan aib orang lain.
Maka dari itu, pepatah kuno mengatakan, Diam adalah emas dan bicara adalah perak. Tetapi, dalam situasi dan kondisi tertentu bicara lebih baik daripada diam jika hal itu menyangkut kebenaran. Tidak mungkin kita diam jika hak - hak kita dirampas atau menyaksikan kedzaliman yang nyata. Menyuarakan kebenaran sangat penting untuk keadilan dan kemaslahatan umat, tapi tetap dalam batas kewajaran dan tidak berlebihan.
Betapa pentingnya menjaga lisan, orang yang mampu menahan diri tidak banyak bicara kemungkinan akan terhindar dari fitnah dan marabahaya sehingga hidupnya tenang dan damai. Oleh sebab itu, Nasaruddin Umar mengatakan, Puasa bicara atau diam salah satu resep untuk meraih ketenangan batin.
Orang pintar itu bicaranya sedikit, ia akan bicara mengenai apa yang ia ketahui dan diam atas apa yang ia tidak ketahui. Orang yang lebih banyak mendengarkan akan mendapatkan banyak ilmu daripada orang yang lebih banyak bicara. Itulah mengapa Tuhan menciptakan dua telinga dan satu mulut, salah satu hikmahnya adalah agar manusia lebih banyak mendengarkan daripada berbicara.
Olehnya itu, berhati - hatilah. Jaga lisan kita, batasi pembicaraan dan tahan jari -jari tangan cepat mengomentari setiap persoalan yang hangat diberitakan, karena jari - jari tangan ini adalah lidah kita di media sosial. Benih-benih konflik mulanya disebabkan karena kefasihan lidah yang pedas. Merespon suatu persoalan tentunya emosi tidak cukup, perlu pengetahuan dan kajian secara mendalam.