Pergantian tahun demi tahun berganti tak hanya membuat kita makin berjarak dari titik kelahiran tetapi juga makin mengikis jatah kehidupan menuju batas kematian (kepastian yang dirahasiakan). Fakta Kauniyah ini diharapkan mengedukasi kesadaran setiap manusia agar lebih lihai berbenah dan menata realitas diri di dalam prinsip-prinsip keseimbangan.
Di samping agama mengajarkan bahwa "Sebaik-baik perkara adalah yang ranahnya di pertengahan" (Hadits Nabi), juga permanennya do'a di keseharian kita mengacu pada standar keseimbangan antara kebahagiaan berdimensi Duniawi dan urgensi Ukhrawinya. Tentu saja capaian keduanya menjadi target dan prioritas manusia yang menghargai anugerah hidup sebagai amanah Tuhan, juga yang mengimani adanya kehidupan sejati pasca kematian.
Perbandingan keutamaan antara hal Duniawi (kehidupan yang sekarang) dengan hal Ukhrawi (kehidupan sesudah mati) sebagaimana terisyaratkan dalam QS. Ad-Dhuha: 4 pada dasarnya tidaklah bermaksud memilih yang satunya lalu mengabaikan yang lainnya.
Filosofi kehidupan dunia ini adalah miniatur dari kehidupan sesudahnya. Karena itu, hidup yang sekarang sesungguhnya merupakan sarana yang efektifitasnya bisa digunakan untuk membangun harapan kebahagiaan di masa depan Akhirat nanti (muatan QS. Al-Hasyr: 18).
Antara kedua dimensi hidup tersebut sama pentingnya diperhitungkan dan punya batasan proporsionalitas yang mesti disejalankan (legitimasi QS. Al-Qashas: 77). Saat sisi suniawi kita lemah dan tak punya daya untuk berbuat maka dengan apa kehidupan ini plus masa depan agama bisa dibangun ?. Karena itu, agar kefana'an Duniawi ini menjadi bermakna dan tak berujung kesia-siaan maka eksistensinya harus diolah dalam kesadaran-kesadaran bermuatan Ukhrawi (tatanan agamis).
Pergantian tahun demi tahun berganti merupakan tahapan realitas yang konsekuensinya ditentukan oleh cara manusia mengolah materi kehidupan ini.
Demi waktu yang analoginya bagaikan "mata pedang" (relatifitas untung ruginya manusia), hanya ada empat golongan yang dipastikan terhindar dari ancaman pertaruhan tersebut. Mereka adalah orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, saling ingat mengingatkan pada hal kebenaran dan saling memotivasi terkait pentingnya perisai kesabaran (muatan QS. Al-Asr: 1-3).
Jika pergantian tahun demi tahun berganti berjalan didalam kendali muatan firman Tuhan tersebut maka reputasi diri dari waktu ke waktu pasti berdampak pada peningkatan mutu kehidupan yang lebih baik.
Terkait hal ini, Rasul berpesan bahwa "Barang siapa yang kenyataan dirinya di hari ini sama dengan hari kemarin tergolong ia MERUGI, lalu barang siapa yang kenyataan dirinya di hari ini lebih buruk dari hari kemarin tergolong ia CELAKA, dan barang siapa yang kenyataan dirinya di hari ini lebih baik dari hari kemarin tergolong ia BERUNTUNG" (HR. Al-Hakim).
Dengan demikian, urgensitas dari prinsip-prinsip pemberdayaan diri dan orientasi kehidupan manusia sesungguhnya sangat sejalan dengan makna TAHUN BARU yang setiap tahun momennya kita rayakan. Bukankah muatan QS. Al-Isra': 14 secara filosofis mengingatkan setiap manusia untuk rajin berbenah dan melakukan introspeksi diri secara obyektif dari waktu ke waktu.....?
Ushini waiyyakum bitaqwallah, Wallahu a'lam bisshawab.