Iman Yang Elaboratif

Oleh : Ilham Sopu

Dalam percakapan Nabi dengan malaikat Jibril dihadapan para sahabat Nabi, setidaknya ada tiga pertanyaan yang diajukan oleh Jibril dan dijawab langsung oleh Nabi, yaitu iman, Islam dan Ihsan. Inilah tiga item yang menjadi pokok dari ajaran Islam. Iman itu simbol dari keyakinan, Islam itu adalah berisi hukum-hukum agama, atau elaborasi dari iman. Sedangkan Ihsan aplikasi dari iman dan Islam yang biasa diterjemahkan dengan akhlak. Ketika malaikat Jibril yang menyamar sebagai manusia dihadapan para sahabat, pamit untuk pulang, para sahabat bertanya kepada Nabi, siapa orang itu tadi, Nabi menjawab, bahwa orang itu tadi adalah malaikat Jibril yang menyamar sebagai manusia dia datang  untuk mengajari kamu apa itu agama.

Inilah yang menjadi dasar para ulama dalam membagi keilmuan dalam Islam, seperti adanya ilmu tauhid, ilmu  fiqh atau syariah dan ilmu tasawuf, dalam bahasa Prof Quraish Shihab adalah aqidah/iman/kepercayaan, syariah/pengamalan ketetapan hukum yang mencakup ibadah ritual dan non ritual, Budi pekerti. Pembagian ilmu-ilmu ini merujuk kepada percakapan antara Nabi Muhammad dan malaikat Jibril. Pemahaman agama pada masa Nabi belum ada dikotomi dalam keilmuan seperti yang terjadi sekarang ini. Nabi tampil sebagai figur sentral dalam memberikan penjelasan pemahaman keagamaan kepada para sahabatnya. Para sahabat hanya melihat, mendengar perkataan dan melaksanakan perintah Nabi, belum ada penamaan keilmuan seperti ilmu hadis, fiqh, ilmu tafsir, ilmu tasawuf, mereka hanya fokus kepada Nabi dalam menjalankan ajaran agama.

Praktek Nabi dalam menjalankan ajaran agama, berangkat pertama kali setelah menjalankan ritus di gua hira, Nabi rutin bertahannus di gua hira menjelang diangkat oleh Tuhan sebagai Nabi dan Rasul. Langka pertama Nabi setelah menjadi Nabi adalah bagaimana memperbaiki pemahaman keagamaan para sahabat. Masyarakat Makkah pada waktu itu adalah masyarakat yang politeis, masyarakat yang menyembah berhala yang banyak bergantungan di Ka'bah. Itulah tugas pertama Nabi, yaitu menguatkan tauhid para sahabat yang mengikuti dan beriman kepada Nabi.

Iman dalam perspektif Nabi bukanlah iman yang statis, yaitu hanya sekedar percaya kepada Tuhan. Karena dalam kitab suci dikatakan "Dan jika engkau (Muhammad) bertanya kepada mereka (kaum musyrik), siapa yang menciptakan langit dan bumi? Pasti mereka akan menjawab Allah. Maka bagaimana mereka dapat terpalingkan(dari kebenaran)" (QS.43.87). Ini menggambarkan bahwa orang kafir Quraisy juga percaya kepada Allah, tapi hanya sekedar percaya, namun mereka tidak "mempercayai" Allah itu. Sebaliknya mereka lebih "mempercayai" berhala-berhala mereka, sehingga kepada berhala-berhala mereka minta perlindungan, pertolongan, keselamatan dan seterusnya. Dalam bahasa Cak Nur panggilan akrab untuk Prof Nurcholish Madjid, kita tidak cukup hanya "percaya" kepada adanya Allah (seperti orang Makkah dahulu), tetap harus pula "mempercayai" Allah itu dalam kualitas-Nya sebagai satu-satunya yang bersifat keilahian atau ketuhanan, dan sama sekali tidak memandang adanya kualitas serupa kepada sesuatu apa pun yang lain.

Dengan percaya dan mempercayai Allah itu akan akan melahirkan iman yang dinamis, dalam keimanan itu ada peningkatan dari percaya kepada mempercayai, sebab iman itu bukanlah kategori yang sifatnya statis, tapi iman itu dinamis, sesuai dengan hadis Nabi, bahwa, "Al Imanu yazidu wa yankuz, yazidu biththaah wa yankuz bil maashih", bahwa iman itu bisa bertambah dan bisa juga menurun, bertambah dengan banyak melakukan ketaatan dan menurun dengan banyak melakukan kemaksiatan. Iman itu harus ditumbuhkan didalam diri kita sedemikian rupa, mungkin dari tingkat sederhana, kemudian berkembang dan terus berkembang menuju kesempurnaan, itu berarti bahwa iman menuntut perjuangan terus-menerus, tanpa berhenti.

Dalam pengembangan iman yang dinamis, dibutuhkan keilmuan untuk mendampinginya, iman dan ilmu ibarat dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan, dalam Qur'an disebutkan bahwa posisi yang tinggi dihadapan Tuhan hanya dimiliki oleh orang yang posisi mempunyai iman dan ilmu, "Allah mengangkat mereka yang beriman di antara kamu dan mereka yang diberi karunia ilmu pengetahuan ke berbagai tingkat (derajat, dalam bentuk jamak)" (QS.58.11). Itulah janji  Tuhan, bahwa keunggulan, superioritas dan supremasi diberikan Allah kepada mereka yang beriman dan berilmu sekaligus. Iman akan mendidik kita untuk mempunyai komitmen kepada nilai-nilai luhur, dan ilmu memberi kita kecakapan teknis guna merealisasikannya.

Iman juga akan melahirkan sikap terbuka, khususnya dalam beragama. Iman akan membuka wawasan kita dalam memaknai ajaran-ajaran agama, kita akan mendengarkan perkataan-perkataan, firman-firman Tuhan, hadits-hadits Nabi, ucapan-ucapan Ulama, dan selalu mengikuti yang terbaik. Dalam Qur'an dikatakan "Maka berilah kabar gembira kepada hamba-hamba-Ku, yaitu mereka yang mendengarkan perkataan, kemudian mengikuti mana yang terbaik. Mereka itulah orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah, dan mereka itulah orang-orang yang berakal budi "(Ulu Al-Albab)" (QS.39.18).

Dengan memperhatikan ayat ini bahwa salah satu orang yang memperoleh petunjuk atau hidayah Allah ialah bahwa dia suka belajar mendengarkan, kemudian dia berusaha memahami apa yang dia dengar itu, dan mengikuti mana yang terbaik, begitu juga dengan orang-orang yang berperilaku demikian itu orang-orang yang berakal budi. Menurut para ulama yang dimaksud dengan mendengarkan perkataan atau Al qaul adalah meliputi sabda-sabda Nabi dan firman Ilahi serta pendapat sesama manusia. Dalam firman ini, itu sejalan dengan beberapa nilai yang lain, yang kesemuanya itu dapat disebut sebagai nilai keterbukaan.

(Bumi Pambusuang, 13 Mei 2024)


Opini LAINNYA

Sumpah Pemuda: Jiwa Muda Untuk Indonesia Emas

Proyek Generasi

Pemuda Hari Ini, Pemimpin Masa Depan

Doa

Pasya Gorontalo : dalam perspektif Islam!

Sugesti Singkat Maulid (1)