Di kalangan penyandang HAJI (oknumnya dan tidak semua) terkadang bangga bahkan ada yang sentimen bila titel haji sepulangnya dari tanah suci tak menjadi panggilan keseharian atau "tak dilengketkan" secara permanen di depan namanya. Yang kita tahu, Rasul sendiri tak pernah memperkenalkan apalagi memamerkan identitas hajinya, padahal bila dipikir-pikir Beliaulah teladan sejatinya Haji.
Meski tak bermaksud men-justis negatif terkait kultur penggunaan gelar haji (khususnya di beberapa belahan dunia plus relatifitas ini sifatnya pribadi), namun masalahnya adalah jika di balik sikap sentimen tadi tersimpan "ketidak-relaan" kalau tak ikut ketahuan sebagai yang juga sudah berpredikat haji. Parahnya lagi bila lewat titel Haji yang dibanggakan diam-diam menyelinap rasa sebagai yang keislamannya sudah berlevel atas hingga makin tidak menemukan "hakikat ketiadaan diri" pasca berhaji. Bahkan, tidak menutup mungkin indikasi dari niat-niat yang tak bersinergi dengan predikat haji justru banyak bergentayangan.
Karena itu, problem kehajian macam ini tentu saja harus dibenahi sedini mungkin sebab jangan sampai kita terlena menyimpan harapan sebagai yang hajinya Mabrur (diterima) namun ternyata Mardud (tertolak) dalam pandangan Tuhan. Terbuai dengan legitimasi Surga yang dijanjikan, padahal keutamaan tersebut diperuntukkan bagi mereka yang mencapai nilai hajinya.
Ini semua akibat dari fakta-fakta ketidak-istiqamahan dalam menepati janji-janji berhaji sebagaimana yang diprosesikan di tanah suci. Karenanya, menjadi hal yang patut diwaspadai bila agenda peribadatan haji pada setiap tahunnya sebatas menyisakan perjalanan formalitas fisik tanpa isi.
Kewajiban berhaji (bagi yang mampu menunaikannya) merupakan anugerah Tuhan yang signifikansinya diperuntukkan bagi hamba-hamba pilihan-Nya. Mereka yang dimaksud adalah sosok-sosok Muslim yang dengan keikhlasan hati berangkat ke Tanah Suci untuk menyempurnakan rukun keislaman, dan pulang membawa tanda-tanda kemabruran dalam bentuk peningkatan kepribadian di dalam beragama.
Di samping predikat haji merupakan amanah Tuhan yang reputasi sosialnya penting dijaga dan dirawat dengan baik, juga konsistensi diri didalam merealisasikan rangkaian rukun-rukun keislaman sebelumnya menjadi fakta sosial yang jangan sampai "dipertanyakan" lagi. Semua ini merupakan cermin akumulasi dari pertanggung-jawaban moral ketaqwaan seorang haji.
Posisi haji sebagai yang terakhir (penyempurna) dalam urutan rukun keislaman, filosofinya bukan sesuatu yang kebetulan atau tanpa alasan. Hal tersebut menyiratkan hikmah betapa kepribadian seorang penyandang Haji mestinya tak lagi melalaikan keutamaan rukun-rukun keislaman lainnya plus pemaknaan sosialnya.
Karena itu, demi capaian spritualitas tersebut maka para calon jemaah haji (CJH) tidaklah cukup berbekal manasik seputar materi-materi ke-fikhi-an haji, kumpulan doa-do'a terkait serta akomodasi kesiapan perjalanan fisik semata.
Hal yang juga tak kalah pentingnya adalah pemantapan psikologi haji plus etika personal yang bersinergi demi melahirkan sosok-sosok "Muhajjin" yang konsisten terhadap nilai haji dan moralitas sosialnya.
Pada akhirnya, klimaks pencapaian nilai dan identitas haji tersugesti positif ketika muatan kearifan lokal menyiratkan satu pesan filosofis yakni "Hajikanlah dirimu sebelum saatnya engkau berangkat ke tanah suci". Statemen agamis ini mengandung motivasi positif bagi siapapun untuk belajar melakoni peran-peran KEPRIBADIAN HAJI sebelum melakukan rangkaian prosedur syar'i-nya ke tanah suci (perjalanan syariatnya).
Ushini Waiyyakum bitaqwallah, Wallahu a'lam bisshawab.
