Di tataran fikhi, kewajiban shalat dimulai dari prosesi "Takbiratul Ihram" (konsentrasi vertikal) dan berakhir dengan "salam" (konsentrasi horisontal). Ini adalah ritual suci yang pada dasarnya mengajarkan bahwa sinergitas antara muatan "hablun minallah wa hablun minannas" merupakan tema inti dari konsekuensi penghambaan hidup manusia (QS. Ad-Dzariyat: 56).
Sekhusyu' bagaimana pun seseorang didalam meditasi shalatnya, indikasinya tercermin ketika secara sosial mampu membangun harmoni kehidupan dengan unsur-unsur semesta lainnya (muatan QS. Al-Anbiya': 107).
Karena itu, filosofi shalat tak sekedar berfungsi sebagai tiang agama (penentu maslahatnya kehidupan), tetapi dengan "mendirikan nilainya" (perpaduan antara hubungan keilahian dan kesesamaan) makin akan memperjelas posisi pelakunya sebagai Khalifah Tuhan di muka bumi. Muatan QS. Al-Baqarah: 30 dan QS.Ali Imran: 112 melegitimasi keseimbangan ini.
Terkait ini, muatan kearifan lokal Kemandaran juga memberikan motivasi positif lewat sindiran kalinda'da' (pantun leluhur berisi petuah) :
"manu-manu' di Suruga saicco' talle woi mappettuleang tokalepu sambayanna....iyya torije'ne' kerona satinja pelli'ana"
(Burung-burung penghias keindahan Surga, setiap saat datang mencari sosok yang utuh sembahyangnya, mereka itulah yang hidup di kejernihan basuhan wudhu'nya dan melangkah di jalan kendali Tuhannya).
Dalam konteks shalat sebagaimana tersebut di atas maka capaian "kekhusyu'an" tak hanya mesti dilihat saat ritual tersebut dilakukan. Lebih dari itu, dengan tak lagi memisahkan keutamaan terkait implementasi nilai-nilai sosialnya maka sesungguhnya yang demikian itulah akumulasi pemaknaan shalat yang khusyu' (legitimasi muatan QS. Al-Mukminun: 1-6 dan QS. Al-Ankabut: 45).
Ushini waiyyakum bitaqwallah, Wallahu a'lam bisshawab.