Belajar Kepada Batu, Oleh : Ilham Sopu 

Belajar Kepada Batu, Oleh : Ilham Sopu

Kehadiran agama sebagai misi yang sifatnya universal adalah untuk menyebarkan kebenaran untuk umat manusia. Penyebaran misi kebenaran agama, dimotori oleh para Nabi setelah menerima Wahyu dari Tuhannya. Kebenaran agama adalah kebenaran yang datang dari Tuhan, kebenaran ini diterima oleh Nabi lewat Malaikat Jibril sebagai Malaikat pembawa Wahyu, kemudian Nabi menyampaikan kepada umatnya.

Proses ini berjalan selama 23 tahun dan dibagi dalam dua periode, yaitu periode Makkah dan periode Madinah, Nabi berhasil membangun peradaban hanya dalam tempo 23 tahun, suatu prestasi yang sangat luar biasa, padahal masyarakat yang dibangun diawal tugasnya sebagai penyampai kebenaran adalah masyarakat yang politeisme, masyarakat penyembah berhala, dan sangat kesukuan atau kabilah pada waktu itu.

Tugas sebagai seorang Nabi, adalah menyampaikan kebenaran yang datang dari Tuhannya, suatu tugas yang berat karena posisi Nabi berada dalam posisi minoritas di Makkah pada waktu itu. Namun Nabi sangat bersemangat setelah menerima Wahyu pertama di gua Hira, Nabi sebelum diangkat menjadi Rasul, Nabi banyak melakukan kontemplasi di tempat yang jauh dari manusia yakni di gua hira. Dan di gua Hira lah, Nabi menerima wahyu pertama, berupa perintah untuk membaca, suatu perintah yang memberikan kepada Nabi modal dalam menjalani misi kebenaran dalam membentuk peradaban keilmuan dan keimanan yang menjadi tugas utama Nabi diutusnya di muka bumi ini.

Peradaban keilmuan dan peradaban keimanan, adalah menjadi pesan utama dalam Al-Qur'an kepada Nabi dan umatnya, untuk melahirkan suatu masyarakat yang berkeadaban sebagaimana diusung oleh Nabi waktu berada di Madinah. Warisan Nabi ini yakni peradaban ilmu dan iman, itu dilanjutkan oleh para sahabat, dan para ulama-ulama klasik,  mereka sangat mengedepankan keilmuan sebagai warisan yang ditinggalkan oleh Nabi, abad ke-VII sampai abad ke-XII adalah abad keemasan bagi umat Islam, para ulama di masa keemasan Islam, sangat mengedepankan ghirah dalam menuntut ilmu, mereka berdiaspora keberbagai daerah atau wilayah untuk mencari sumber-sumber ilmu atau ulama yang ada ditempat lain.

Proses pencarian keilmuan yang dimiliki oleh para ulama klasik begitu tinggi, mereka rela menempuh perjalanan yang sangat jauh demi untuk menambah pundi-pundi keilmuan, semangat dalam penuntutan keilmuan ulama-ulama klasik begitu besar, begitupun dalam menghasilkan karya-karya sangat masif, sekalipun peralatan yang ada pada waktu itu sangat sederhana. keproduktifan ulama-ulama klasik perlu menjadi acuan, karena fasilitas yang mereka miliki sangat terbatas tapi mereka bisa menghasilkan karya yang spektakuler, jika dibandingkan dengan hari ini, kita dimanja oleh alat-alat teknologi yang begitu canggih, tapi masih malas untuk menghasilkan karya-karya besar untuk kita wariskan kepada generasi masa depan.

Salah satu juga kelebihan yang dimiliki oleh ulama-ulama klasik, disamping banyak belajar lewat teks-teks wahyu, banyak belajar ke hadis-hadis Nabi, mereka juga sangat aktif untuk berijtihad, sebagai salah satu cara untuk menggali hukum Islam, mereka juga belajar kepada fenomena alam yang terhampar di muka bumi ini. Bahkan ada ulama yang mendapat gelar yang dinisbatkan kepada benda-benda tertentu, karena belajar kepada benda tersebut. Dikisahkan salah seorang ulama besar, Ibnu Hajar Al Asqallani,  secara bahasa Ibnu Hajar itu artinya anak batu, kenapa digelari anak batu.

Suatu ketika Ibnu Hajar sedang melakukan diaspora ke Mesir untuk belajar keilmuan di sana, di Mesir dia belajar berbagai ilmu, dalam pendalaman keilmuan, dia merasa tidak ada peningkatan dalam proses pembelajarannya, dia dihinggapi rasa kebosanan, sehingga berniat untuk kembali ke kampungnya. Dalam perjalanan menuju kampungnya, dia singgah di sebuah gua untuk beristirahat. Dalam peristirahatannya, dia memperhatikan tetesan air yang jatuh ke sebuah batu, entah berapa lama tetesan itu terjadi sehingga membuat lubang di dalam batu yang ada di bawahnya. Dari situ ia belajar bahwa air yang sedemikian lembut pun berhasil melubangi batu cadas, Lalu dia mencoba mengambil pelajaran dari peristiwa tersebut, bagaimanapun kerasnya batu, dengan air yang lembut yang menetes terus menerus, batu itu akan berlubang.

Akhirnya dia mengurungkan niatnya untuk pulang ke kampungnya, dan dia kembali ke Mesir untuk memperdalam ilmu. Dengan semangat yang membatu ia berhasil lulus dengan berbagai prestasi istimewa yang diraihnya. Dengan peristiwa ini, dia digelari Ibnu Hajar (putra batu). Ibnu Hajar seorang ulama besar, khususnya dalam bidang hadis, Dia meng-syarah atau memberikan penjelasan terhadap kita Shahih Bukhari yang terkenal itu. Dan masih banyak ulama-ulama lainnya, yang memanfaatkan metode pembelajaran dengan mencoba belajar lewat kejadian-kejadian alam semesta, lewat renungan-renungannya. 

Itulah sebabnya, ungkapan yang mengatakan perjalanan adalah adalah madrasah yang besar, banyak pembelajaran-pembelajaran yang kita dapatkan ketika kita banyak melakukan diaspora. Banyak ulama-ulama yang memanfaatkan perjalanannya untuk memperhatikan makna-makna atau fenomena alam yang dilaluinya. Pada akhirnya belajar adalah suatu kewajiban yang telah diwariskan oleh Nabi, dan dilanjutkan oleh para sahabatnya, kemudian para ulama-ulama, semangat para ulama dalam mewariskan keilmuan yang telah ditinggalkan oleh Nabi, adalah menjadi rujukan dalam pengembangan keilmuan untuk generasi hari ini dan generasi ke depan.

(Bumi Pambusuang, 14 Maret 2023)


Opini LAINNYA