AGAMA tak hanya ada pada seberapa banyak rakaat shalat yang mampu kita kerjakan...
Tak hanya ada pada serba-serbi puasa yang rutin kita lakukan...
Tak hanya ada pada berapa kali Al-Qur'an kita khatamkan...
Tak hanya ada pada rutinitas Dzikiran yang kita seremonikan...
Terlebih indikasinya tak cukup dilihat pada putihnya kopiah sebagai simbol kehajian.
Melainkan, AGAMA juga mutlak hadir di segmen-segmen permasalahan kehidupan dimana nilai-nilai shalat, puasa, haji dan muatan ritualitas lainnya terakumulasi menjadi satu sistem kesadaran yang mampu mengendalikan eksistensi (perilaku hidup) manusia.
Sebagaimana pengertiannya, AGAMA adalah regulasi Ilahiyah atau media penuntun ke jalan yang benar demi menghindarkan manusia dari ragam kekacauan hidup. QS. Ar-Rum: 41 menggambarkan efek kekacauan tersebut yang tak lain disebabkan oleh ketidak-obyektifan manusia sendiri dalam memposisikan agama sebagai solusi bagi problem-problem kehidupan. Hal ini juga disugesti oleh muatan QS. At-Thalaq: 2-3. Dengan begitu, ketika kenyataan hidup yang dijalankan ini masih dalam cengkraman potensi-potensi diri yang "mengacaukan" atau merusak, itu pertanda betapa pentingnya kita melakukan introspeksi diri terkait cara hidup beragama (muatan QS. Al-A'raf: 96).
Agama tak lain adalah manifestasi akal sehat manusia sehingga tak berlaku agama bagi mereka yang kehilangan akal sehat. Itulah sebabnya, ketika penjabaran dari logika beragama mengacu pada muatan "wasathiyah" (pertengahan) maka hal tersebut dimaksudkan agar urgensi antar sisi-sisi kehidupan manusia berjalan dalam sinergitas nilai-nilai keseimbangan.
Terkait tujuan dan fungsinya, agama tak hanya mengatur perbaikan hubungan manusia kepada Tuhan (dimensi vertikal) tetapi tatanan interaksi antar manusia dalam berbagai hal (dimensi horisontal) juga diperlukan demi membuktikan bahwa yang kita jalankan benar-benar adalah AGAMA (legitimasi QS. Ali Imran: 112, QS. Al-Anbiya': 107).
Sisi lain, naturalitas beragama tak cukup dilihat saat manusia berada dalam situasi "lapang" atau hal-hal yang menyenangkan, tetapi juga ketika diperhadapkan pada ketetapan-ketetapan hidup diluar harapan atau duka cita yang menguji keimanan (muatan QS. Al-Baqarah: 155-157). Bukankah manusia tak jarang terjebak dalam ketidak-sadaran hingga melakoni agama tanpa keadilan di kedua situasi hidup yang sekilas berlawanan ?.
Karena itu, meski aktualisasi agama dalam kehidupan adalah proses yang tak semudah memaparkan teorinya, namun pasti lebih "mengacaukan" bila manusia hidup tanpa nilai-nilai beragama.
Ushikum wanafsi bitaqwallah, Wallahu a'lam bisshawab.