Ramadhan, Negeri yang Puasa

Oleh: Muh Yusrang, S.H (Ketua PD IPARI Mamuju Tengah)

Bulan suci Ramadhan – bagi seluruh umat Islam – adalah bulan yang sangat dinanti-nantikan. Tak heran jika seluruh masjid penuh dengan jamaah yang akan melakukan Shalat Tarawih.

Hal itu disebabkan pemahaman semua umat Islam bahwa salah satu keistimewaan yang ada pada bulan Ramadhan adalah terbukanya pintu Rahmat dan Ampunan dari Allah SWT.

Semua umat Islam berbondong-bondong melakukan berbagai amalan demi menambah pundi-pundi pahala. Tak hanya yang wajib. Ibadah Sunnah pun dilakukannya. Mulai dari Shalat Sunnah, Tadarrusan, hingga berbagi takjil kepada sesama.

Dasar dari semua itu adalah janji Allah yang akan melipat gandakan setiap amalan yang dilakukan. Semisal, satu kali Shalat Sunnah di Bulan Ramadhan senilai dengan tujuh kali ibadah Shalat wajib di luar bulan Ramadhan.

Dibalik semua janji-janji yang menggiurkan tersebut. Bukan berarti tidak meninggalkan setitik permasalahan di tengah umat Islam. Masih saja ada yang tergiur atas hal yang bersifat duniawi dari pada segala kelimpahan nikmat Allah SWT yang telah disebutkan.

Negeri yang Puasa

Ujian dibulan suci Ramadhan kali ini bukan hanya menahan lapar, dahaga dan jimak serta praktik yang didasari hawa nafsu pada umumnya kita dapati. Lebih dari itu, kesabaran kita di uji oleh tontonan yang jelas sangat menguras pikiran dan emosi.

Bagaimana tidak, begitu ramai diperbincangkan di Jagad Maya Negara kita dijamah secara berjamaah oleh para komplotan yang rakus akan rupiah. Ingin menyejahterakan dirinya sendiri.

Bumi Pertiwi terluka dan kita pun bersedih. Namun, tak ada kuasa untuk menyela manuver mereka. Ilmu yang tak beradab. Tertawa saat mendapati dirinya tertangkap basah menjamah sang Pertiwi.

Tidak tanggung-tanggung, kelompok para penjarah tersebut bersiasat menjarah secara berjamaah. Mereka tersebar menggerogoti di setiap sendi negeri ini. Dari sektor logam mulia, minyak bumi, perbankan hingga agama. Dan nilainya cukup fantastis. Menyentuh angka ribuan triliun.

Sebut saja disektor Migas yang di keruk hingga menyebabkan kerugian negara di kisaran hampir mencapai nilai 1 Kuadriliun, berdasarkan informasi dari kompas. Kasus ini menempatkan Pertamina berada di puncak klasemen liga korupsi Indonesia. Saya tak habis pikir jika hukuman mati tidak diberlakukan bagi para pelakunya.

Menyusul diurutan kedua dari sektor logam mulia yang menyebabkan negara kita merugi hingga 300 Triliun rupiah. Dan di ikuti diposisi ketiga adalah kasus Mega korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang menyebabkan kerugian negara Indonesia sebesar 138 Triliun.

Lebih lanjut kerugian negara juga disebabkan oleh penyerobotan lahan sawit yang menyebabkan kerugian negara sebesar 78 triliun. Kasus PT Asabri 22,7bTriliun dan Jiwasraya 16,8 triliun.

Dan terakhir kasus dana LPTQ yang temuannya sekitar 300 juta dari total kerugian 500 juta. Ini dari satu kabupaten saja. Belum lagi jika di audit seluruh Indonesia. Mungkin angkanya menyentuh triliunan. Ini hanya asumsi pribadi penulis.  Akan tetapi tidak menutup kemungkinan terjadi di beberapa wilayah di Indonesia.

Dari seluruh data diatas. Jika dikalkulasikan maka nilainya hampir menyentuh angka 2 (dua) kuadriliun. Ini angka yang sangat fantastis jika dibandingkan hutang negara kita saat ini berada diangkat 8.338,34 Triliun atau lebih dari 30% atas hutang negara.

Lantas, yang menjadi pertanyaannya adalah kenapa hal tersebut terjadi di negara yang katanya masyarakatnya agamis, taat dalam beribadah. Negara yang menjunjung tinggi nilai luhur. Negara yang beradab dan berbudaya. Kemanakah semua identitas itu.

Semua problematika politik kebangsaan yang terjadi saat ini menjadi bukti dan pertanda begitu gersangnya Indonesia saat ini. Negara kita puasa dari nilai luhur para penguasanya. Diakal mereka hanya kalkulasi ongkos politik yang harus dikembalikan. Politik balas Budi yang wajib terbayarkan. Begitu miris bangsa ini.

Figur Penawar Dahaga

Bung Karno pernah mengatakan dalam pidatonya setelah menetapkan tanggal 10 November sebagai hari pahlawan bahwa “Bangsa yang besar adalah Bangsa yang menghormati jasa para pahlawannya.

Apakah dengan kondisi saat ini relate dengan ungkapan tersebut. Kemanakah bangsa besar tersebut yang seharusnya menghargai perjuangan para pahlawannya.

Apakah kondisi ini yang dimaksudkan oleh bung Karno  bahwa “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri”.

Indonesia sejatinya tidak kekurangan orang pintar. Indonesia tidak kekurangan orang yang terdidik. Akan tetapi Indonesia kekurangan orang yang berbudaya luhur. Sikap korup sama sekali tidak merepresentasikan nilai budaya luhur bangsa kita.

Bung Hatta pun pernah menyampaikan kekhawatirannya terkait sikap korup ini. Beliau mengatakan, “Jangan biarkan korupsi menjadi bagian dari budaya Indonesia”.

Lebih lanjut beliau pernah berpesan, “Korupsi di Indonesia bisa hilang dengan undang-undang yang ada asalkan para pejabat yang berwenang mau bertindak”.

Dasar dari pesan pemimpin bangsa ini adalah nilai luhur para penghulu bangsa kita terdahulu. Korupsi bukanlah DNA bangsa kita. Ia adalah warisan para sosok tamak dari zaman sejarah hingga era reformasi sampai saat ini

Salah satu bukti bahwa korup bukanlah DNA negara kita. Sebut saja Tan Malaka. Sosok yang sangat kontroversi di zamannya. Yang dianggap sebagai ancaman bagi kolonial Belanda sehingga ia diasingkan hingga keluar negeri. Separuh hidupnya dihabiskan di pengasingan demi memperjuangkan Negeri Indonesia.

Hal itu ditintakan oleh seorang peneliti dan penulis buku Tan Malaka, Harry A Poezze. Beliau mengatakan, Saat masih hidup Tan Malaka mendedikasikan seluruh hidupnya untuk kepentingan bangsa. Saat itu, Tan Malaka bahkan sampai rela dipenjara dan dibuang oleh Belanda ke luar negeri pada 1922 karena tindakannya dinilai mengancam kepentingan negeri kolonial di Nusantara.

Tak heran jika ia dijuluki bapak Republik karena ia adalah orang yang pertama kali menggunakan nama Republik Indonesia dalam bukunya Menuju Republik. Pemikirannya yang progresif menginspirasi tokoh negara dan pemuda Indonesia untuk berjuang memerdekakan Indonesia.

Diatas adalah Realita jika kita melihat dalam perspektif Nasionalisme. Begitu pula dari sudut pandang agama. Ada sebuah ungkapan yang masyhur ditelinga masyarakat Indonesia khususnya yang beragama Islam yaitu Hubbul Wathan Minal Iman, Cinta Tanah Air adalah bagian dari pada Iman.

Ungkapan ini dicetuskan oleh K.H Wahab Hasbullah yang merupakan tokoh Agamais pendiri NU yang juga ikut andil dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Mereka bersepakat bahwa berjuang demi tanah air adalah bagian dari Jihad dan apa bila meninggal maka termasuk Syahid.

Para ulama sepuh termasuk Mbah Hasyim Asy’ari, menggunakan slogan ini sebagai upaya membakar semangat para pejuang bangsa khususnya dari kalangan santri untuk terus memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Dan slogan tersebut menjadi bagian dari implementasi semangat Nasionalisme yang dimiliki oleh para tokoh agamis bangsa kita hingga saat ini.

Masih banyak tokoh bangsa lainnya yang menjadi panutan dalam memahami konsep berbangsa dan bernegara. Mereka memiliki satu pegangan bersama yaitu semangat nasionalisme. Mencintai bangsanya dengan sepenuh hati bahkan jika harus mengorbankan jiwa dan raganya.

Semua itu mereka lakukan demi satu tujuan yaitu agar masyarakat dapat merasakan hidup yang aman damai dan tenteram. Itulah yang harus di contoh oleh para pemangku kekuasaan saat ini jika ingin mewujudkan sila ke 5 Pancasila.

Mengutip perkataan bung Hatta, “Korupsi di Indonesia bisa hilang dengan undang-undang yang ada asalkan para pejabat yang berwenang mau bertindak”.

Sehingga, bukan tidak mungkin Indonesia terbebas dari dahaga perilaku anti korup jika para perangkat petinggi bangsa ini mengikuti teladan yang dicontohkan oleh para pendahulunya.

Wallahu A’lam.


Oleh: Muh Yusrang, S.H (Ketua PD IPARI Mamuju Tengah)


Opini LAINNYA

Ramadhan, Negeri yang Puasa

Investasi Kenikmatan

Iman Itu Karakter

Spritualitas Puasa

Retret Kepala Daerah

Memaknai Diaspora Nabi

Muazin Bangsa dari Makkah Darat