Burhanuddin Hamal : Perang Terbesar

Oleh: Burhanuddin Hamal (Penyuluh Agama Islam Fungsional KUA Kec. Tinambung Polewali Mandar)

KURUSETRA dalam cerita Mahabharata adalah gurun luas yang menjadi tempat berkecamuknya perang saudara antara PANDAWA dengan KURAWA. Dalam hikayat Hinduisme, perang Bharatayudha tersebut tak hanya berlangsung lama dalam hitungan hari tetapi juga menelan banyak korban dari kedua kubu pasukan yang saling bersikukuh. Ketajaman ujung mata anak panah dan kesaktian senjata gandiwa yang menjadi kebanggaan dua pasukan serumpun dari Dinasti "Santanu" itu, ternyata tidaklah seberingas "nafsu-nafsu angkara murka" saat diri manusia terjebak dalam hasutannya.

Secara umum, banyak sudah kasus-kasus amoral terjadi di muka bumi, penghianatan kepercayaan, manipulasi bergentayangan bahkan ragam kejahatan sosial lainnya yang tak lagi dianggap tabu dalam dinamika budaya manusia (muatan QS. Ar-Rum: 41). Maka, di sinilah hikmah inti dari perintah berpuasa bagi kaum beriman agar KEMENANGAN SEJATI yang dicapai lewat wujud "pengendalian diri" lebih meng-esensi dibanding kepuasan semu yang diperoleh lewat kultur saling menipu, fitnah menfitnah, menebar kebencian bahkan pertumpahan darah antar sesama.

Sepulang dari perang Badar yang dikenal sebagai perang terdahsyat dalam sejarah Islam, Rasul berkata kepada para sahabatnya "sesungguhnya kita baru kembali dari perang kecil menuju perang yang jauh lebih besar". Sahabat pun tercengang dan bertanya "setelah ini, masih adakah perang yang lebih besar lagi wahai Rasul"? Rasul menjawab "ya, dan perang terbesar itu tak lain adalah perjuangan setiap manusia melawan rongrongan hawa nafsunya sendiri", para sahabat pun terdiam.

Karena itu, ibadah puasa (wajib maupun sunnah) tak hanya berguna bagi penyehatan fisik manusia saja melainkan urgensi taqwa yang mewujud pada kemampuan "mengendalikan diri" lebih dibutuhkan untuk bisa mengenal batasan-batasan tertentu. Indikasinya terlihat pada realitas manusia yang tahu mengenal batasan antara hak pribadi dan milik orang lain, serta kesabaran diri didalam menghadapi ujian-ujian kehidupan.

Di saat yang sama, ritualitas puasa tak hanya merupakan ibadah berdimensi kemanusiaan (horizontal) tetapi esensinya juga mengajarkan keyakinan (vertikal) bahwa ternyata tak sejengkal pun gerak manusia yang berlangsung di ruang semesta ini luput dari pengetahuan Tuhan. Hal ini tidak saja relevan dengan muatan QS. Al-Zalzalah: 7-8 tetapi juga ketika didalam Hadits Qudsi Tuhan berfirman "Al-insanu sirrii wa anaa sirruhu" (Manusia itu rahasia-Ku dan Aku rahasianya).

Hubungan rahasia tersebut tercermin lewat pengendalian diri manusia yang tentu saja tak hanya berkenaan dengan hal-hal berkategori haram tetapi juga pada perkara halal sekalipun.

Karena itu, demi capaian taqwa sebagai kemenangan sejati yang dijanjikan Tuhan maka kewajiban berpuasa sesungguhnya bertujuan untuk mengalahkan kekuatan besar dari belenggu nafsu-nafsu negatif diri kita sendiri (QS. Yusuf: 53). Indikasi kemenangan dari pendidikan Ramadhan tersebut pada prinsipnya diharapkan "membekas" di kenyataan sebelas bulan selainnya. Hal ini juga menjadi bukti bahwa efektifitas Ramadhan merupakan sentralitas perjuangan diri (dimensi keimanan) menuju taqwa yang natural.

Ushini waiyyakum bitaqwallah, Wallahu a'lam bisshawab.


Opini LAINNYA

Antara Kefakiran dan Kekufuran

Tradisi Intelektual Mati Suri

Orientasi Sosial Keimanan

Belajar Islam Ke Prof Harun Nasution

Niat Yang Terbelokkan

Burhanuddin Hamal : Perang Terbesar

Internalisasi Nilai-Nilai Ramadhan