Antusiasitas kemusliman dalam membaca hingga mengkhatamkan Al-Qur'an khususnya di bulan suci Ramadhan merupakan rangkaian amaliah positif yang dengan keikhlasan akan bernilai ibadah.
Di tataran keimanan dan psikologi manusiawi, nuansa agamis tersebut tentu saja tak lepas dari sugesti Ramadhan sebagai bulan yang kemuliaan esensinya melipat-gandakan semua bentuk-bentuk kebaikan tak terkecuali membaca Al-Qur'an.
Hanya saja, jika budaya membaca Ayat-Ayat Tuhan terbatas pada yang Qur'aniyah (tertulis) saja tanpa dibarengi dengan upaya penghayatan pada dimensi Kauniyah (membaca semua yang terfakta) maka efektifitasnya tidak akan maksimal dalam membentuk kualifikasi "muttaqin" sebagaimana mestinya.
Respeksitas yang pertama boleh jadi domainnya sebatas bermain di seputar kepentingan mengurus pahala pribadi atau perbaikan hubungan berskala vertikal semata. Padahal, mengaji Kauniyah juga tak kalah pentingnya dilakukan lewat cara melatih hati dan pikiran untuk "membaca" fakta demi fakta kehidupan (apapun itu) yang bahkan akumulasinya meliputi kenyataan diri kita sendiri. Dengan menganalisis kebesaran-Nya yang meliputi "apa saja", bukankah yang demikian ini menjadi syarat untuk bisa mengenal Tuhan ?.
Antara kedua jenis Ayat-Ayat Tuhan (Qur'aniyah dan Kauniyah) tak hanya sejalan dan saling menguatkan, tetapi ending-nya juga diharapkan melahirkan kesadaran natural yang berefek pada meningkatnya kesalehan sosial (legitimasi QS. Ali Imran: 190, 191).
MEMBACA realitas alam atau makrokosmos dalam hubungannya dengan konsekuensi keberadaan diri manusia atau mikrokosmos (QS. Al-A'raf: 96, QS. Ar-Rum: 41) termasuk serba-serbi permasalahan hidup dan cara menyikapinya (QS. At-Thalaq: 2-3) mengajari kita berfikir obyektif, baik dalam posisi sebagai makhluk sosial terlebih selaku khalifah Tuhan (QS.Al-Baqarah: 30). Tentu saja kemudian, refleksi horisontalnya mestinya berindikasi pada nilai-nilai iman dan ketaqwaan. Meski capaian ini tidak semudah menteorikannya, namun sinergitas Ramadhan menginginkan ikhtiyar taqwa sebagai hasil pembenahan diri termanifestasi di semua skala ruang dan geraknya waktu kehidupan (sebelas bulan selainnya).
Karena itu, saat kedua cara mengaji tersebut (Qur'aniyah dan Kauniyah) disandingkan dalam membangun kesadaran beragama maka prinsip "hablun minallah wa hablun minannas" diharapkan terwujud menjadi tatanan keseimbangan yang bermaslahat (individualitas yang tak menafikan urgensi sosial). Bukankah pijakan mendasar dari orientasi penghambaan diri manusia kepada Tuhan, esensinya mengacu pada legitimasi muatan QS. Ali Imran: 112 dan QS. Al-Anbiya': 107.....???
Ushi wa iyyakum bitaqwallah, Wallahu a'lam bisshawab.