Meningkatkan Kualitas Ibadah Di Sisa-Sisa Ramadhan

Hamzah (Guru MA Nuhiyah Pambusuang)

Menjelang Ramadhan berakhir kita patut kembali merenungi apa yang telah berlalu dari usaha kita menjalankan perintah Tuhan ini. Sebagai bulan penuh berkah dan ampunan, serta pendidikan lahir batin, maka setiap kita berhak menilai apakah kita akan menjadi pribadi yang akan tetap melanjutkan kebiasaan positif di bulan suci atau sebaliknya setelah ramadan berlalu. Apakah kita akan mencapai tujuan dari perintah ini yaitu taqwa atau malah menambah sifat fujur (buruk) pada diri, apakah kita akan termasuk minal faizin (beruntung) atau minal muflisin (merugi)? .Jawabannya kembali pada kesadaran masing-masing dalam memaknai dan menghayati perintah Tuhan ini.

Tentu saja kita semua sangat berharap akan meraih ampunan dan menjadi pribadi bertakwa di bulan selanjutnya dan kembali suci atau fitri. Namun semua ini tentu tidak akan terjadi begitu saja tanpa perjuangan.

Sebagaimana diketahui bahwa tujuan utama puasa bagi orang beriman adalah taqwa. Mengingat taqwa ini bukan perkara mudah, maka untuk mencapainya harus melalui tahapan dan proses serius sesuai aturan syariat serta mampu menghindari hal-hal yang membatalkan dan dilarang oleh agama.

Kita perlu khawatir tentang kualitas puasa kita, jangan sampai kita melaksanakan puasa ini asal-asalan dengan anggapan sekedar melengkapi rukun islam kita atau sekedar ikut-ikutan saja. Jika demikian adanya, maka justru yang terjadi pada puasa kita hanya akan terlihat seperti rutinitas biasa. Misalnya awal puasa dari mulai 1 sampai 20 fungsinya hanya membakar lemak, sedang kalau 20 ke atas puasa hanya seperti membakar gaji, artinya menjelang akhir Ramadhan kita mulai hitung-hitungan pengeluaran untuk kebutuhan menyambut idul Fitri dll.

Oleh karena itu sekali lagi, penting bagi kita merenung dan mengevaluasi kembali kualitas ibadah yang kita laksanakan di bulan ini, agar kita pantas mendapatkan anugerah Indah dari Tuhan.

Sudah seharusnya malam-malam terakhir bulan suci ini dijadikan malam penuh sujud dan munajat. Nabi Muhammad saw memberikan kabar gembira bagi mereka yang memperbanyak sujud terutama di sisa-sisa malam bulan suci. Dalam Firman-Nya pun ditegaskan " bersujudlah dan dekatkan dirimu kepada-Ku.

Tuhan tidak akan mengancam hamba-Nya yang shalat dan memperbanyak sujud dengan neraka. Mengenai sujud ini ada sebuah kisah menarik diceritakan oleh seorang sufi besar Jalaluddin Rumi, beliau bercerita :

Alkisah, pada tepian sebuah sungai, terdapat dinding yang tinggi. Di atas benteng itu, terbaring seseorang yang tengah menderita karena kehausan. Tembok itu menghalanginya untuk mendapatkan air yang ia rindukan seperti rindunya seekor ikan akan air. Dengan susah payah, ia lalu melemparkan pecahan batu kerikil dari tembok itu ke dalam air. Suara percikan air yang tertimpa kerikil terdengar di telinganya seperti suara seorang sahabat yang indah dan lembut. Ia begitu bahagia mendengar suara percikan air itu.

Karena bahagianya, ia mulai merobohkan batu bata benteng itu satu persatu. Suara gemercik air di bawah seakan berkata kepadanya, "Apa yang kau lakukan?" Lelaki yang kehausan menjawab, "Aku memperoleh dua hal dan aku takkan pernah berhenti melakukannya. Pertama, aku ingin mendengar bunyi gemercik air. Suara percikan air bagi orang yang kehausan sama seperti suara terompet Israfil yang membangunkan kehidupan bagi orang mati; sama seperti bunyi hujan di musim semi yang membuat kebun merekah dengan segala kemegahannya; sama seperti hari-hari sedekah bagi seorang pengemis; atau sama seperti berita kebebasan bagi seorang tawanan.

Kedua, setiap kali aku merobohkan bebatuan benteng dan melemparkannya ke bawah, aku menjadi lebih dekat dengan air yang mengalir. Setiap bongkah tembok yang aku jatuhkan membuat benteng ini menjadi lebih rendah. Menghancurkan dinding pemisah ini akan membawaku kepada kesatuan.

Ilustrasi kisah ini menggambarkan bahwa meruntuhkan benteng pemisah adalah makna dari bersujud. Rumi mengajarkan kepada kita bahwa Air Kehidupan tak bisa didekati tanpa bersujud. Tembok-tembok yang menghalangi kita untuk dekat kepada Tuhan adalah tembok keangkuhan dan kesombongan kita. Selama kita masih sombong, kita tak akan pernah mampu untuk mendekati Dia. Sujud adalah lambang kerendahan diri. Semakin seseorang merendahkan dirinya, makin dekat pula ia dengan Yang Maha Tinggi.

Nabi Muhammad Saw. pernah bersabda, "Saat seorang hamba paling dekat dengan Tuhannya adalah saat ia tengah bersujud."

Ketika hamba bersujud, sejatinya ia menempatkan kepalanya yang menjadi lambang kepongahan pada tempat yang serendah-rendahnya. Bahkan dalam shalat, kita disunnahkan agar merebahkan kepala kita di atas tanah yang dari situ kita diciptakan dan ke tanah pula kita dikembalikan.


Opini LAINNYA

Antara Kefakiran dan Kekufuran

Tradisi Intelektual Mati Suri

Orientasi Sosial Keimanan

Belajar Islam Ke Prof Harun Nasution

Niat Yang Terbelokkan

Burhanuddin Hamal : Perang Terbesar

Internalisasi Nilai-Nilai Ramadhan