Di satu sisi, meski agama tak mengajarkan pamrih bagi setiap kebaikan yang dilakukan, namun di sisi lain ditekankan pada mereka yang menerima kebaikan untuk belajar besyukur dan tahu berterima kasih.
من لا يشكر الناسَ لا يشكر اللهَ
(Barang siapa yang tidak bersyukur dengan manusia, hakikatnya tidak bersyukur kepada Tuhan)
Karena itu, sekalipun dalam bentuk yang berbeda, pengakuan syukur beresensi vertikal tersebut faktanya ada pada kesadaran manusia dan upayanya untuk bisa "membalas" setiap kebaikan apapun pada yang memberikannya (konsekuensi horisontal).
Logika keseimbangan ini juga diumpamakan bahwa ketika seseorang berbuat zalim pada yang lain, apakah urgensi kesabaran hanya penting diperankan oleh pihak yang terzalimi saja ?
Di saat yang sama, jika terhadap pihak yang melakukan kezaliman (apapun jenis dan tingkatannya) tak ikut diingatkan bahwa Tuhan melarang hal tersebut, bukankah ini ketidak-adilan secara sepihak ?
Hadirnya AGAMA bukan untuk melegitimasi batas kesenangan personal atau berhenti di kepentingan segelintir, melainkan orientasi sejatinya demi pencapaian kebahagiaan bersama yang bahkan berskala dua alam yakni Dunia dan Akhirat
(QS. Al-Anbiya': 107, QS. Al-Qashash: 77).
Hal tersebut terbukti secara empirik bahwa kehidupan ini bisa berjalan secara normal akibat adanya "interaksi keseimbangan" antar seluruh komponennya.
Tanpa itu, harmoni kehidupan yang tak lain merupakan tujuan sekaligus indikator beragama dipastikan mengalami hambatan
(Legitimasi QS. Ali Imran: 112),
Wallahu a'lam.