URGENSI SIRI'

Oleh: Burhanuddin Hamal (Penyuluh Agama Islam Fungsional KUA Kec. Tinambung Polewali Mandar)

"Tappa' diwawa pole, siri' dipapputiang, rakke' di Puang iamo sulo di waona lino"
(kita lahir dengan Iman, realitasnya dibungkus bahasa moral, taqwa pada Tuhan itulah obor penerang hidup di atas bumi). Demikian kutipan Alm. AM. Mandra (budayawan Mandar) dalam buku MOTTIANA MANDAR.

Ketika agama memposisikan "malu sebagian dari iman", itu artinya tanpa rasa malu maka nilai keimanan tinggal separuh. Tentu saja, urgensi siri' atau malu yang dimaksud dalam konteks ini mengacu pada berfungsinya moralitas diri. Dengan begitu, hal-hal yang semestinya diindahkan maupun yang tak seharusnya dilakukan akan terkendali dalam prinsip-prinsip kesadaran manusia.

Statemen "mencintai tanah air bagian dari keimanan" juga merupakan motivasi positif bagi para generasi bangsa agar mampu mensyukuri kemerdekaan sebagai diantara nikmat terbesar. Kewajiban bersyukur adalah ibadah dan memilih kufur berpotensi bencana bagi masa depan manusia (QS. Ibrahim: 7).

Perspektif Agama dan nilai budaya Kemandaran bersinergi dalam mengenal SIRI' sebagai penentu reputasi dan capaian eksistensi (sense of control). Klasifikasinya termanifestasi pada siri' lao di alawe, siri' lao di paratta' anna siri' lao di Puang (konsistensi moral terhadap diri sendiri, sesama dan kepada Tuhan). Karena itu, keterkaitan yang seimbang antara tiga penjabaran siri' tersebut diharapkan memproduksi manusia-manusia yang punya kepekaan moral dan mampu menjaga eksistensi dirinya dalam berinteraksi sosial. 

Peran dan fungsi siri' tidak hanya berkonsekuensi secara signifikan pada peningkatan hubungan kevertikalan manusia, tetapi refleksi horisontalnya juga mengontrol sikap dan tatanan-tatanan kehidupan dalam kapasitas manusia sebagai Khalifah plus "rahmatan lil alamin" (QS. Al-Baqarah: 30, QS. Al-Anbiya': 107).

Ushikum wanafsi bitaqwallah, Wallahu a'lam bisshawab.


Opini LAINNYA