Tradisi Hasyiyah Ulama Klasik

Ilham Sopu

Salah satu tradisi intelektual yang dilakukan oleh ulama-ulama klasik adalah tradisi hasyiah, syarah atau penjelasan karya-karya intelektual yang sifatnya membutuhkan penjelasan lebih lanjut. Banyak karya-karya ulama yang sifatnya singkat yang terdiri dari berbagai cabang keilmuan, misalnya dalam kajian ilmu bahasa, fiqh, hadis, dan ilmu-ilmu lainnya. Dan biasanya yang memberikan syarah atau hasyiah adalah ulama-ulama yang hidup sesudah zaman yang mengarang kitab tersebut. Tradisi syarah atau hasyiah adalah tradisi yang turun temurun yang menjadi kebiasaan para ulama-ulama dulu dalam memberikan penjelasan suatu kitab untuk generasi sesudah mereka.

Disamping banyak mengarang kitab-kitab yang tebal, ulama-ulama klasik atau ulama dulu juga banyak mengarang kitab-kitab yang tipis tipis, tujuannya adalah lebih mudah untuk dipelajari para generasi sesudahnya, dan merupakan kerangka keilmuan atau suatu bentuk metodologi keilmuan atau tahapan-tahapan dalam pengkajian keilmuan. Banyak kitab-kitab tipis dari berbagai sub keilmuan misalnya fiqh, tasauf, aqidah, tafsir, ilmu bahasa, dalam konteks kepesantrenan kitab-kitab tipis tersebut, menjadi kurikulum yang dipelajari di awal pembelajaran di pesantren. Hampir semua pesantren tradisional menjadikan kitab-kitab tipis tersebut sebagai kurikulum dasar dalam kepesantrenan.

Tradisi intelektual yang dicoba dibangun para ulama-ulama klasik lewat tulisan-tulisan yang berharga baik yang ditulis dengan panjang lebar berupa kitab-kitab yang tebal maupun yang ditulis dengan singkat lewat kitab-kitab yang tipis, ini adalah salah satu bentuk peradaban Islam yang banyak menghiasi dunia intelektual muslim pada abad kemajuan Islam yakni abad munculnya imam-imam madzhab dan masa Al Gazali dan Ibnu Rusyd dan pemikir-pemikir Islam lainnya. Warisan yang ditinggalkan oleh ulama klasik tersebut perlu kita jaga, baik menjaga karya-karyanya yang sudah menjadi klasik, dan lebih-lebih mengkaji kembali sebagai dasar untuk mengisi keilmuan kita, terhadap ilmu-ilmu dasar sebagai modal untuk lebih mengembangkan keilmuan kita kedepan.

 

Dalam tradisi ahlul sunnah wal jamaah, ada adagium yang cukup masyhur dan menjadi kaidah keilmuan yaitu "Al muhafadzatuh al qadimi al shalih wal akhdzu bil jadidi al ashlah", memelihara nilai-nilai lama yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik". Motto atau kaidah ini sangat relevan untuk digunakan kapan dan manapun, karena mencoba untuk menggabungkan pemikiran-pemikiran yang pernah ditelorkan oleh ulama-ulama klasik yang banyak menghasilkan karya-karya yang bermutu dan masih dibutuhkan sampai hari ini, dan mencoba untuk menghasilkan karya yang terbaru yang sesuai kondisi hari ini. Dan ini sesuai dengan prinsip keilmuan dalam Islam bahwa, bahwa Islam itu shalihun likulli zamanin wa makanin, bahwa Islam itu fleksibel, sesuai dengan zaman dan waktu.

Untuk dapat meraih kembali model peradaban Islam, yang pernah jaya pada masa lalu, yang begitu kaya dengan ijtihad dari ulama-ulama pada waktu itu, adalah suatu keniscayaan untuk kembali menguasai ilmu-ilmu klasik yang telah ditinggalkan oleh para ulama dengan tetap berinovasi atau berijtihad dalam menghasilkan karya-karya yang lebih baru yang sesuai dengan kondisi zaman. Dalam kaitannya dengan kontinuitas keilmuan tradisi syarah atau hasyiah yang ditinggalkan oleh ulama-ulama dulu tetap menjadi rujukan untuk keilmuan kedepan. 

Salah satu inovasi yang berkembang sekarang ini, yang dicoba dilakukan oleh koran-koran ternama atau majalah-majalah adalah disiapkannya kolom-kolom resensi buku. Resensi buku ini perlu dikembangkan terus khususnya di kolom-kolom koran atau majalah untuk tetap menyiapkan kolom resensi buku. Inilah literasi yang punya nilai manfaat yang mendalam untuk menambah wawasan keilmuan lewat komentar terhadap suatu buku yang dianggap punya keilmuan yang tinggi.

Kegiatan resensi buku ini, harus dijadikan inovasi dalam pembelajaran disekolah-sekolah maupun di perguruan tinggi dan ini adalah salah satu bentuk melatih berfikir untuk mengembangkan nalar kebahasaan dalam memberikan tafsiran-tafsiran keilmuan yang ada dalam satu buku yang hendak diresensi. Dalam meresensi suatu buku bukan hanya memberikan penafsiran terhadap buku tersebut, tapi sebelumnya perlu pembacaan yang mendalam atau penguasaan yang menjadi inti dari buku tersebut. Jadi meresensi itu butuh pengetahuan yang ganda yaitu pembacaan atau penguasaan terhadap buku kemudian memberikan analisa atau tafsiran terhadap buku tersebut, karena resensi pada hakekatnya memperkenalkan atau mengkampanyekan isi buku kepada khalayak yang akan membaca buku tersebut.

Begitupun dalam tradisi syarah dan hasyiah terhadap suatu kitab, yang telah di lakukan oleh parah ulama, adalah untuk memperkenalkan kitab-kitab yang disyarah dari ulama-ulama sebelumnya, dan memberikan penjelasan yang lebih panjang terhadap topik-topik pembahasan dalam kitab tersebut. Para ulama terdahulu telah memberikan pondasi yang kuat terhadap pengembangan intelektual dalam bentuk karangan-karangan atau tulisan-tulisan keilmuan dan di coba dijelaskan kembali oleh ulama-ulama sesudahnya. Dan ini adalah pelajaran yang sangat berharga untuk generasi pada hari ini untuk meniru kreativitas ulama-ulama terdahulu untuk berkarya yang lebih baik dan produktif.

 

(Bumi Nuhiyah, 23 Agustus 2023)


Opini LAINNYA