Judul diatas terinspirasi dari pernyataan Gus Dur, ketika mengomentari kepulangan tiga cendekiawan muslim Indonesia di tahun 80 an yakni Cak Nur, Buya Syafi'i dan Amin Rais menuntut ilmu dari Chicago university, kampus yang banyak mencetak pemikir-pemikir berkaliber internasional. Gus Dur sendiri adalah pendekar dari Al Azhar Cairo. Tiga pendekar dari Jombang yang dimaksud adalah Cak Nur, Gus Dur dan Cak Nun. Ketiganya berasal dari Jombang suatu wilayah berlokasi di Jawa timur, dan merupakan kampung santri yang terbesar di pulau Jawa. Dan memang banyak tokoh atau ulama besar berasal dari Jombang salah satu diantaranya adalah Kyai Hasyim Asy'ari, yang merupakan pendiri organisasi terbesar di Indonesia yaitu Nahdlatul ulama, dan Jombang dikenal daerah yang memiliki banyak pesantren tradisional diantaranya pesantren Tebuireng, Darul ulum rejoso, Denanyar dan pesantren-pesantren besar lainnya.
Ketiga cendekiawan muslim ini lahir di era akhir tahun 30 an dan awal tahun 40 an dan ketiganya adalah alumni-alumni pondok pesantren tradisional. Ketiga cendekiawan yang ulama ini, banyak mewarnai pemikiran keislaman era 80 an sampai era tahun 2000 an. Banyak persamaan dari ketiganya, mulai dari latar belakang keilmuan, penguasaan keilmuan klasik ala pesantren tradisional, analisis sosial tentang berbagai persoalan kebangsaan, analisis pemecahan tentang persoalan keagamaan, baik pendekatan yang merujuk kepada kitab-kitab klasik maupun dalam pisau analisis filsafat kemodernan. Ketiga pemikir ini yang banyak memberikan solusi kebangsaan baik sebelum reformasi maupun pasca reformasi.
Disamping banyak persamaan dalam memberikan solusi yang baik terhadap wilayah pembahasan keagamaan dan wawasan kebangsaan, dalam aspek pendekatan metodologi mereka berbeda karena perbedaan pendalaman keilmuan ditingkat akademik. Cak Nur lebih fokus menggunakan pendekatan akademik yang terstruktur, mungkin karena latar belakang setelah tamat dari pesantren secara berjenjang dapat menyelesaikan studi sampai ke program doktoral di amerika, suatu pencapaian akademik yang begitu baik pada masanya. Kesempurnaan keilmuan Cak Nur, secara akademik, dapat menyelesaikan keilmuannya secara berjenjang, juga latar belakang aktifis yang handal yaitu sewaktu menjalani jenjang S1 nya IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan menduduki jabatan ketua umum HMI dua periode, suatu prestasi aktifis yang prestisius.
Kecendekiawanan Cak Nur adalah kecendekiawanan yang sempurna, karena berangkat dari keilmuan pesantren tradisional dan modern, perpaduan Darul ulum Jombang yang tradisional dan Gontor yang modern, atau perpaduan bahasa kitab kuning dan bahasa percakapan Inggris Arab yang modern, kedua keilmuan ini yang membawa Cak Nur melanjutkan kuliah di IAIN Syarif Hidayatullah mendalami sejarah kebudayaan Islam kemudian meneruskan pendidikan ke Amerika tempat Chicago dengan konsentrasi ilmu politik dan filsafat Islam.
Demikian juga dengan Gus Dur, kekayaan ilmu klasik atau kitab kuning, namun dalam pendalaman keilmuan Gus Dur, lebih banyak menghabiskan waktunya dalam pengkajian keilmuan lewat belajar otodidak, dia mengembara dari satu pesantren ke pesantren yang lain, dengan pendalaman disiplin ilmu kepesantrenan di Tebuireng yaitu ilmu hadis yang merupakan disiplin keilmuan dari kakeknya Kyai Hasyim Asy'ari, kemudian ilmu kebahasaan dan fiqh di pesantren Krapyak Yogyakarta, dan pesantren-pesantren besar lainnya. Untuk memperdalam ilmu keislaman Gus Dur melanjutkan studinya di Mesir dan Irak, sama dengan yang ditempuh waktu belajar di pesantren, Gus Dur lebih banyak menghabiskan waktunya di perpustakaan untuk membaca atau mendalami buku-buku referensi yang ada di perpustakaan Al Azhar dan di Baghdad.
Setelah pulang ke Indonesia Gus Dur lebih menfokuskan diri dalam mengurusi NU dan sosial kemasyarakatan, dan sempat menjadi ketua PBNU. Dalam masa kepemimpinannya, NU banyak mengalami kemajuan yang sangat luar biasa, Gus Dur sangat fleksibel dalam menakodai NU, sekalipun ada berbagai tantangan dalam masa kepemimpinannya, karena berada dalam masa kepemimpinan orde baru yang otoriter, dan juga riak-riak kecil dalam internal NU, yang tidak menyukai gaya kepemimpinan Gus Dur, namun pada masa Gus Dur, NU mengalami kemajuan di berbagai bidang, khususnya kepemimpinan yang demokratis di dalam NU, kemajuan di bidang keilmuan, sehingga kepemimpinan di masa sesudahnya atau pasca Gus Dur mengalami kemajuan yang pesat sampai hari ini di masa kepemimpinan Gus Yahya.
Cak Nun, yang merupakan panggilan akrab Emha Ainun Najib, tidak berbeda dengan Cak Nur dan Gus Dur, juga seorang cendekiawan yang biasa juga dipanggil Kyai Kanjeng, Cak Nun juga punya latar belakang yang kuat terhadap keilmuan klasik karena banyak berinteraksi dengan beberapa kyai besar di kampung kelahirannya, dan juga sempat menimba ilmu di pesantren Gontor, ini yang membuat Cak Nun akrab dengan keilmuan klasik dan modern sebagaimana Cak Nur dan Gus Dur. Cak Nun juga sangat produktif dalam dunia tulis menulis. Di tahun 80 an dan 90 an, Cak Nun banyak menulis buku, ada gaya tersendiri yang merupakan ciri khas dalam tulisan-tulisan Cak Nun, menggunakan bahasa-bahasa metafora yang kadang mudah untuk dicerna dan kadang juga kesulitan dalam memahaminya. Dan kadang juga menggunakan bahasa-bahasa gaul yang lagi trendy di masyarakat. Pesan-pesan dalam tulisannya banyak menyindir kebijakan-kebijakan pemerintah yang familier, dengan menggunakan bahasa-bahasa sindiran, gaya bahasa metafora.
Tidak hanya produktif dalam dunia tulis menulis, Cak Nun juga sangat piawai dalam menyampaikan pesan-pesan keagamaan dalam bentuk ceramah, Cak Nun punya retorika tersendiri dalam menyampaikan pesan-pesan yang dibungkus dengan nilai-nilai budaya khas pesantren. Salah satu kelebihan yang dimiliki Cak Nun, kemahirannya dalam penyampaian pesan-pesan keagamaan dalam bentuk simbol-simbol yang terdapat dalam term keagamaan kemudian memberikan penafsiran kekinian simbol-simbol tersebut dalam realitas kontemporer.
Itulah tiga pendekar dari Jombang, ketiganya punya keilmuan yang mumpuni, mereka telah memberikan kontribusi yang besar terhadap perjalanan bangsa ini, sumbangan pemikiran, keteladanan, telah banyak mereka wariskan kepada kita untuk eksistensi bangsa dan negara kedepan. Mereka telah memberikan keteladanan, dan saatnya kita melanjutkan.
(Bumi Pambusuang, 30 Agustus 2023)