SEKILAS TENTANG RAMADHAN

Burhanuddin Hamal (Penyuluh Agama Islam Fungsional KUA Kec. Tinambung Polewali Mandar)

Oleh: Burhanuddin Hamal
(Penyuluh Agama Islam Fungsional KUA Kec. Tinambung Polewali Mandar)

Al-Qur'an maupun Hadits, keduanya memberi keterangan bahwa bulan Ramadhan memiliki keistimewaan dibanding bulan-bulan selainnya. Itulah sebabnya, pada sisi manusiawi dan keimanan tak begitu mengherankan jika di bulan mulia ini frekuensi keta'atan dan peribadatan mengalami loncatan yang signifikan. Hampir semuanya terkesan kita lakukan demi memanfaatkan promo kelipat-gandaan pahala plus rangkaian fasilitas penting lainnya sebagaimana yang dijanjikan Tuhan.

Persoalannya kemudian adalah jika seluruh amaliah Ramadhan terkonsentrasi pada perolehan pahala semata, maka andai "iming-iming" tersebut tidak ada masihkah kita mau menyembah Tuhan terlebih menjadikannya sebagai sentral kebutuhan ? Tidakkah ini membuktikan bahwa jangankan di ranah horisontal, di tataran vertikal saja terkesan sebegitu kalkulatifnya kita membangun hubungan dengan Tuhan. Kurang baik apa Tuhan pada kita. Bukankah di rentetan ayat pada QS. Ar-Rahman melegitimasi dengan jelas bahwa dominasi nikmat-Nya telah tersalur sebegitu merata di kerahasiaan hidup setiap manusia ?

Ketika nantinya kembali kita terluntah-luntah melakukan ibadah karena berpikir sudah bukan lagi Ramadhan, bacaan Al-Qur'an pun tak lagi menjadi agenda penting karena bulan yang melipat-gandakan pahala sudah berakhir, bahkan amaliah-amaliah kesalehan lainnya dengan perlahan kita hentikan seiring perginya Ramadhan, maka tidakkah ini menjadi sebuah indikasi betapa kita memposisikan Ramadhan tak lebih sebatas momentum dramatisasi kesalehan sesaat ?
Situasi macam ini hanya akan membawa kita pada prinsip pengguguran kewajiban saja (Perspektif Jangka Pendek) tanpa berpikir bagaimana agar nilai-nilai Ramadhan menjadi ruh kepribadian yang "natural" di kenyataan sebelas bulan selainnya (Perspektif Jangka Panjang).

Betapa seringnya kita diperhadapkan pada kasus-kasus negatif yang mencerminkan pengabaian "nilai-nilai Ramadhan" pasca Idul Fitri. Ketidak-mampuan memaknai esensi kemenangan dalam bentuk "merdekanya diri" dari hasutan sifat-sifat serakah, culas, egois dan arogan serta jeratan sifat-sifat terlarang lainnya berpotensi menjadi sumber petaka bagi kehidupan manusia. Situasi macam ini sebagaimana tergambar dalam muatan QS. Ar-Rum: 41, jelas makin menjauhkan kita dari realitas taqwa yang justru diharapkan menjadi konsekuensi logis terkait capaian makna hari raya.

Ketika term Idul Fitri dimaknai sebagai hari raya KEMENANGAN bagi para pelaku puasa Ramadhan, maka dimanakah esensi itu saat satu persatu dari hasutan kejahatan kembali menguasai, mentaktis bahkan memasung kita dalam ketidak-berdayaan ? 
Atau ketika pasca Ramadhan nanti, liarnya nafsu-nafsu ilegal kembali menggerogoti kehidupan, mengendalikan bahkan memangsa semua yang diinginkan meskipun bukan miliknya, maka kemanakah konsistensi air mata Ramadhan yang dengan khusyu' kita tumpahkan di momentum malam-malam PERTOBATAN ?

Karena itu, meski harus melewati proses hidup yang panjang dan menantang, namun pembelajaran menggeser diri dari "Id Kultural" menuju "Id Natural" diharapkan menjadi target konsistensi bagi para pelaku puasa. 
Terkait ini, Tuhan berfirman "Bacalah Kitabmu (dirimu), dan cukuplah dirimu sendiri pada hari ini sebagai evaluator atas kenyataan dirimu" (QS. Al-Isra': 14). 

Ushikum wanafsi bitaqwallah, Wallahu a'lam bisshawab.


Opini LAINNYA