Sapa Ramadhan (6) : Sahur dan Nuansa Kesejukan Udara Pagi

H. M. Sahlan - Katim Penais dan SI Bimais Kanwil Kemenag Sulbar

Energi keimanan membangkitkan orang yang telah berazam puasa bangun dini hari untuk makan sahur walaupun agak berat, malas dan menahan kantuk. Makan sahur memang sunnah bukan keharusan, namun orang yang berpuasa dimotivasi untuk melaksanakannya karena dalam aktivitas sahur ada keberkahan, walaupun hanya dengan beberapa biji buah kurma atau segelas air.

Rasulullah SAW bersabda, "sahur itu berkah, karena itu jangan ditinggalkan walau salah satu dari kamu hanya dengan mereguk seteguk air. Sesungguhnya Allah dan para malaikat bershalawat (memberikan rahmat dan atau penghormatan) kepada orang-orang yang melakukan sahur" (HR. Ahmad dari abu said Alkhudri).

Anjuran makan sahur mengandung makna bahwa puasa perlu persiapan agar mendapatkan tenaga yang prima selama menunaikan ibadah puasa dan selama itu produktivitas dan aktivitas sehari-hari tidak terganggu. Sisi lain sahur ditekankan karena menggambarkan perbedaan yang signifikan antara puasa orang islam dan puasa ahli kitab serta umat-umat terdahulu. Dengan kegiatan sahur, otomatis orang yang berpuasa dengan sadar atau terpaksa bangun pagi hari lebih daripada biasanya.

Di samping makan sahur, dia paling tidak mencuci tangan, berkumur-kumur dan menggosok gigi. Dengan begitu, ia menghirup udara pagi yang bersih, sejuk dan segar. Belum terkontaminasi oleh polusi. Keadaan udara seperti ini sangat baik untuk mempercepat proses pembakaran tubuh. Tubuh lebih cepat menyerap gizi. Tandanya ketika bangun pagi, perut terasa lapar.

Udara sangat dibutuhkan oleh tubuh, disamping makanan dan zat cair. Tubuh memerlukan zat asam. Zat asam ini dapat diperoleh dengan menghirup udara segar. Selain keuntungan menghirup udara pagi, orang bersantap sahur lebih berkesempatan untuk gerak badan dan olah tubuh. Apalagi kalau aktivitas sahur sudah dimulai atau diakhiri dengan qiyamullail (Tahajjud).
Dalam makan sahur dan shalat tahajjud ada gerak. Pikiran menjadi cerah dan cerdas. Tubuh lebih fresh. Gerak tubuh lebih ringan, aktif dan lincah. Muka ceriah dan berseri-seri. Pepatah Arab mengatakan, "siapa yang bangun di gulita malam maka mukanya akan tampak berseri disiang hari ". Hal ini akan membuat tubuh kebal dan memiliki daya tahan dari gangguan penyakit. Banyak orang mengidap penyakit paru-paru dan liver melakukan terapi bangun pagi atau meditasi ditempat yang udaranya sejuk. Seiring dengan perkembangan industri, udara sejuk akan semakin  dibutuhkan orang.

Rasulullah SAW memberikan garansi terhindar dari penyakit bila mau bangun tengah malam, disamping garansi ekselen yang lain. Rasulullah SAW bersabda, "biasakanlah melakukan qiyamullail, karena sesungguhnya qiyamullail itu tradisi orang-orang shaleh sebelum kamu, sarana pendekat kamu dengan Tuhanmu, media pelebur kesalahan-kesalahanmu, wahana pencegah kamu dari dosa dan media penahan penyakit dari tubuh. (HR. Thabrani dari Salman al farizy).

Orang-orang yang terbiasa bangun di pagi hari, tampak lebih sehat dibandingkan orang-orang yang bangun kesiangan. Banyak orang berumur senja kelihatan muda (awet muda) karena mereka membiasakan bangun pagi. Rasulullah SAW terbiasa bangun pagi karena itu tubuh beliau sehat. Tradisi bangun pagi dengan demikian sangat baik bagi kesehatan.

Oleh karena itu paling tidak harus diupayakan untuk melaksanakan shalat subuh berjamaah di masjid atau mushallah terdekat. Karena, ada gerak disitu. Ada udara sejuk dan bersih. Pikiran cerah, tubuh menjadi lincah, fresh dan siaga untuk melakukan aktivitas sehari-hari hari. Tradisi bangun pagi yang diajarkan oleh ibadah puasa ramadhan. Khususnya sahur harus tetap dilestarikan, apalagi kita sementara bersama ramadhan (hari keenam). Maka tradisi bangun pagi makan sahur sangat berguna untuk kesehatan disamping mensyukuri nikmat alam yang indah dan menambah kedekatan kita kepada Allah SWT.


Opini LAINNYA

Antara Kefakiran dan Kekufuran

Tradisi Intelektual Mati Suri

Orientasi Sosial Keimanan

Belajar Islam Ke Prof Harun Nasution

Niat Yang Terbelokkan

Burhanuddin Hamal : Perang Terbesar