Al-Quran menerangkan bahwa sumber segala derita manusia adalah kekalahannya melawan hawa nafsunya. Sedangkan hawa nafsu dalam pandangan para sufi adalah unsur kebinatangan dalam diri manusia yang perlu dijinakkan agar tidak menjadi buas dan menguasai jiwa seseorang. Nafsu yang tak terkendali dapat membahayakan jiwa dan merusak hati hingga mengakibatkan hilangnya kesadaran ber-Tuhan dalam diri seseorang. Aktivitas nafsu selalu menyeret ke bawah untuk jatuh dan menjadi beban bagi jiwa untuk naik mencapai kesadaran akan wujud Tuhan karena sifatnya yang selalu menarik ke bawah alam kegelapan.
Sikap menahan diri ini dibutuhkan oleh semua manusia tanpa memandang usia dan status. Melalui puasa manusia dilatih mengendalikan hawa nafsunya yang cenderung menjerumuskan manusia ke dalam kehinaan. Dengan puasa, kecenderungan jiwa hewani yang sering memberontak perlahan-lahan akan mampu dijinakkan. Setiap saat merasakan lapar, jiwa seorang muslim diingatkan bahwa demi mematuhi perintah Ilahi, gejolak jiwa hewani harus ditaklukkan. Maka oleh sebab itulah puasa tidak hanya menahan diri dari kebutuhan jasmani atau biologis, tetapi juga menahan diri dari semua dorongan hawa nafsu.
Selain itu, dalam berpuasa ada upaya manusia meneladani sifat-sifat Tuhan sesuai kemampuannya sebagai makhluk. Yaitu dimulai dengan mengendalikan diri baik dalam hal ragawi maupun rohani. Lebih dari itu mereka yang berpuasa harus pula meneladani sifat-sifat Tuhan yang lain, seperti Maha Pemaaf dan Pengasih serta sifat-sifat Tuhan Yang Mulia lainnya.
Dari sekian banyak pesan moral dalam ibadah puasa salah satunya adalah menjaga diri dari memakan sembarang makanan. Bahkan makanan yang halal pun tidak boleh dimakan sebelum datang waktunya yang tepat. Kita dilarang asal makan saja. Makanan yang masuk ke perut harus diperhatikan baik dari segi halal maupun kualitasnya. Agama melarang kita berprilaku seperti hewan dalan hal makan. Sebagaimana kata Imam Ali r.a: ' Janganlah jadikan perutmu sebagai kuburan hewan". Yaitu memasukan segalanya ke dalam perut tanpa memikirkan resikonya.
Puasa juga mengajarkan agar kita tidak hanya sibuk mengisi perut sehingga itu menjadi tabiat kita. Puasa tidak akan bermakna apa-apa jika kita hanya sibuk memperhatikan kebutuhan perut sendiri tanpa memberikan perhatian yang tulus kepada orang lain yang membutuhkan. Terutama bagi mereka yang mengalami penderitaan hidup, kita semestinya menyadari bahwa puasa juga merupakan proses pengabdian dan perkhidmatan. Tidak hanya berkhidmat kepada Tuhan tetapi juga harus melayani sesama, Sebab tidak ada pengabdian kepada Tuhan tanpa melalui pelayanan tulus kepada sesama makhluk Tuhan.
Dalam sebuah riwayat, suatu hari Nabi Saw. melihat anak-anak muda sedang bertanding mengangkat batu. Lalu beliau memuji mereka seraya berkata, "Manusia yang paling perkasa ialah yang sanggup mengendalikan dirinya (mengendalikan hawa nafsunya)."
Ada sebuah peristiwa di mana Nabi Muhammad saw yang mulia pernah memergoki seorang perempuan yang memaki budaknya. Lalu beliau memanggil perempuan itu dan menyuruhnya berbuka. Perempuan itu berkata: Inni sha'imah (Aku berpuasa.). Nabi saw bersabda "Bagaimana mungkin kamu berpuasa, tetapi kamu maki-maki budakmu Nabi mengingatkan perempuan itu bahwa bulan Ramadhan adalah bulan Perkhidmatan, bukan makian. Memaki hamba Allah akan menghapuskan semua pahala puasanya.
Pernah juga suatu hari dilaporkan kepada Nabi tentang seseorang yang selalu berpuasa di waktu siang dan bangun malam untuk shalat, tetapi sering menyakiti tetangganya dengan lidahnya. Beliau saw menjawab singkat: "Orang itu di neraka!". Oleh karena itu, supaya puasa itu berfaedah bagi kamu, tinggalkan segala macam kezaliman, terutama pada orang kecil dan lemah.
Bulan Ramadhan juga dimaknai sebagai bulan mensucikan jiwa melalui serangkaian ujian merasakan penderitaan. Seperti sebuah kisah yang dikutip oleh kang Jalal yang digambarkan dalam cerita Rumi;
"Suatu waktu seorang suci sambil mengendarai keledainya, melihat ular merayap masuk ke mulut seorang yang sedang tertidur! Ia memburu dengan cepat, tapi tidak berhasil mencegah ular itu. Ia pukuli orang yang tidur itu berkali-kali dengan tongkatnya. Orang itu terbangun ketakutan dan lari ke bawah pohon apel, dengan apel-apel busuk bertebaran di atas tanah.
'Makanlah! Hai orang malang, makanlah!' 'Kenapa kau lakukan ini padaku?' 'Ayo makan lagi..! Saya tidak pernah berjumpa dengan kamu sebelumnya! Siapa kamu ini? Apakah dalam batinmu kamu memusuhi jiwaku?' Orang suci itu memaksanya untuk makan, dan ia mencoba lari darinya. Berjam-jam ia memukuli orang malang itu dan membuatnya lari. Akhirnya, di malam hari, dalam perut yang penuh dengan apel busuk, kelelahan, dan bergelimang darah, ia jatuh dan memuntahkan semuanya, yang baik dan yang buruk, apel dan ular. Ketika ia melihat ular yang berbahaya keluar dari dirinya, ia bersimpuh di hadapan orang yang menyiksanya.
Apakah kamu Jibril? Apakah kamu Tuhan? Penuh berkahlah saat kamu pertama melihatku. Waktu itu aku sudah mati dan tidak menyadarinya. Kau berikan kepadaku kehidupan baru. Semua yang aku katakan padamu itu memang tolol! Aku tidak menyadarinya.' Kata orang suci itu jika aku jelaskan apa yang aku lakukan, kamu mungkin akan panik dan mati ketakutan. Karena itulah, aku diam ketika aku memukulmu. Diamnya Tuhan diperlukan karena kelemahan hati manusia. Jika aku tadi mengabarkan kepada kamu tentang ular itu, kamu tidak bakal mampu makan dan sekiranya kamu mampu makan pun, kamu tidak akan memuntahkannya.
Belasan bulan kemarin ular hawa nafsu sudah bersarang dalam diri dan kita tetap saja tidur lelap tidak sadar. Sekarang kedatangan Ramadhan adalah kedatangan orang Suci dalam cerita Rumi. Ramadhan memukuli kita dengan lapar dan dahaga, agar nanti kita tidak menderita pada hari akhir. Kita dipaksa untuk memuntahkan jajanan kita, demi kesehatan dan keselamatan kita. Nabi bersabda, "Tidak akan masuk kerajaan langit orang yang memenuhi perutnya."
Di samping berusaha mengendalikan nafsu dalam hal perut. Bulan Ramadhan juga seharusnya dijadikan bulan menebar Rahmat dan kedamaian menghormati serta menahan ego pribadi. Dalam ayat tentang perintah berpuasa diawali dengan panggilan kepada orang-orang beriman. Ini merupakan rahasia kasih sayang Tuhan kepada orang beriman. Salah satu kriteria orang yang orang beriman sebagaimana dijelaskan oleh para ulama adalah menjadi rahmat di kalangan manusia. Kata Iman sendiri secara harfiah bila digali akar katanya sama dengan katan Aman. Maka sepantasnya orang yang mengaku beriman menciptakan rasa aman bagi sekitarnya. Bukan malah membuat gangguan.
Begitu pentingnya menjaga keamanan dan ketertiban, bahkan dalam aturan fiqih terkait ibadah saja kita dilarang mengeraskan bacaan atau suara ketika shalat atau membaca al-qur'an jika melebihi batas wajar dan tidak bisa ditolerir kebisingan volumenya, hukumnya bahkan haram kalau sampai mengganggu.
Dari sini kita bisa simpulkan bahwa aktivitas ibadah saja jika berpotensi menimbulkan kebisingan maka itu dihukumi haram. Apatah lagi jika melakukan kebisingan yang tidak berguna.
Kita mesti berfikir untuk tidak terlalu mengedepankan ego hanya demi kepuasan semu yang nyatanya bisa melukai perasaan orang lain. Kita harus memikirkan bagaimana bila suatu saat kondisi kita dalam keadaan butuh ketenangan dan istirahat penuh, lalu ada orang-orang yang sengaja melakukan kebisingan di sekitar kita, tentu saja hati akan menggerutu kesal bahkan mengutuk perbuatan tersebut.
Oang beriman itu adalah mereka yang mampu mengamankan dirinya, orang lain dan sekitarnya. Jangan sampai bulan suci ini kita nodai dengan hal-hal yang mengusik ketenangan masyarakat dan membuat gaduh ruang publik.