Dalam kajian keagamaan, banyak anjuran anjuran kebaikan yang terulang untuk mempertegas atau meneguhkan bahwa itu adalah sesuatu yang baik, Nabi juga kadang mengulangi sampai tiga kali sesuatu yang dianggap penting. Dalam kajian kebahasaan ada istilah taukid lafdzi,atau pengulangan lafadz, yang artinya bahwa itu adalah sesuatu yang sangat penting. Karena manusia juga bervariasi dalam menerima informasi atau tingkat intelektualitas manusia itu bertingkat tingkat, ada yang cepat dalam menyimpan informasi dan ada juga yang lambat, oleh sebab itu teks keagamaan memberikan jalan keluar untuk memberikan pengulangan yang dianggap penting dalam suatu ajaran agama. Kadang nabi mengulangi perkataannya, kalau perkataan itu cukup penting dalam pengembangan agama. Itu adalah bagian dari strategi dakwah bahwa informasi itu sangat penting.
Misalnya ada hadis nabi yang diawalnya diucapkan tiga kali "La yu'minu, la yu'minu, la yu'minu. Lafadz lafadz pengulangan seperti ini banyak kita temukan dalam teks keagamaan. Sesudah lafadz taukid seperti itu, pasti informasi setelah sangat penting, sama dengan lafadz qasam atau lafadz sumpah, bahwa sesudah lafadz qasam menandakan bahwa informasi sesudahnya amatlah penting. Disamping penegasan lewat perulangan lafadz dan penggunaan kata qasam atau sumpah, kadang juga Tuhan menggugah manusia dengan perkataan perkataan gugahan supaya manusia mempergunakan akalnya, itu juga merupakan metode Qur'an supaya manusia menyadari kelebihan yang mereka miliki.
Islam adalah agama yang sangat mengedepankan rasionalisasi dalam beragama, karena secara teks keagamaan terlalu banyak ayat yang mendorong untuk beramal dengan dasar dorongan penggunaan akal. Disamping penggunaan nurani sebagai modal primordial manusia dalam beragama. Kedua modal inilah yang menjadikan manusia unggul di banding dengan makhluk Tuhan lainnya. Naluri keberagamaan manusia itu sangat kuat, karena memang dia diciptakan untuk menyembah atau beribadah kepada Tuhan. Sehingga Tuhan banyak memberikan fasilitas kepada manusia, yang tidak dimiliki oleh makhluk yang lain. Dengan fasilitas itu manusia disebut makhluk yang hanif, makhluk yang selalu condong kepada kebenaran. Memang dalam diri manusia ada dua potensi yang selalu tarik menarik yaitu potensi kebaikan dan potensi keburukan, kedua lambang dari penciptaan manusia yaitu ruh ilahi dan tanah.
Kedua potensi ini adalah musuh yang abadi sepanjang manusia mengalami kehidupan. Kalau manusia selalu condong untuk berbuat kebaikan berarti ruh ilahi yang menjadi dominan dalam dirinya, tapi kalau manusia banyak melakukan perbuatan dosa berarti unsur tanahlah yang lebih dominan. Tapi mengingat jati diri manusia itu adalah ruhaninya maka manusia akan lebih banyak condong untuk berbuat kebaikan. Karena kebaikan itu akan selalu konnek dengan nurani, itulah sebabnya nabi menyuruh kita untuk selalu berkonsultasi dengan nurani kita. Karena nurani itu cermin untuk menuju kebaikan kebaikan yang bersifat perennial. Nurani akan memberikan arah, apakah perbuatan itu sifatnya kebaikan atau keburukan.
Kebaikan itu apa yang membuat jiwamu tenang dan membuat hatimu tenang. Sedangkan dosa apa yang membuat hatimu resah dan membuat dadamu terguncang. Jadi sangat mudah kalau kita ingin mendeteksi apakah perbuatan kita itu akan mengarah ke kebaikan atau akan mengarah ke perbuatan dosa. Tapi kadang nurani kita itu tertirai, dan gagal mendeteksi suatu perbuatan, mungkin diakibatkan karena terlalu banyak kesalahan atau dosa yang kita lakukan, sehingga nurani kita tumpul atau tertirai dengan dosa dosa yang kita lakukan. Itulah sebabnya seluruh ajaran agama bertugas untuk membersihkan atau mensucikan terkait dengan proses kemanusiaan, mulai dari syahadat itu mensucikan aqidah manusia, shalat mensucikan jiwa manusia, puasa mensucikan nurani manusia, zakat mensucikan harta manusia dan haji mensucikan perjalanan menuju Tuhan lewat simbol tawafnya.
Oleh sebab itu, seluruh kebaikan kebaikan yang dilakukan oleh manusia haruslah dijadikan wirid harian supaya menjadi suatu kebiasaan yang positive, dan bisa mendarah daging dalam dirinya. Itulah yang menjadi judul ungkapan diatas habit is second nature, kebiasaan akan menjadi sifat yang kedua. Kita harus hati hati jangan sampai kita terbiasa dengan hal hal yang tidak baik, kalau sudah terbiasa melakukan hal hal yang tidak baik itu akan menjadi sifat kedirian kita bahkan akan menjadi kepribadian kita. Dan kita tidak akan merasakannya sebagai suatu kebiasaan, karena sudah menjadi watak kita. Jadi kita harus membiasakan kebaikan betapapun kebaikan sifatnya kecil, karena dia akan mengakar dalam jiwa dan akan tumbuh menjadi watak yang baik.
Yang menjadi problem, kalau kita terlalu akrab dengan kejahatan, kita tidak akan merasakan lagi bahwa itu adalah kejahatan, bahkan kita menganggap bahwa itu adalah perbuatan yang baik. Sebagaimana yang disindir oleh Tuhan dalam Qur'an "Apakah orang yang dihiaskan kepadanya kejahatan (amal perbuatannya),)lalu dia melihatnya sebagai kebaikan (yang sama dengan orang yang mendapat petunjuk)? (QS. Fathir /35:8). Itulah bahayanya kebiasaan kebiasaan buruk yang sudah mendarah daging dalam diri kita, itu akan menjadi watak yang kedua, maka kebiasaan baik harus dipelihara dan kebiasaan buruk harus disadari keburukannya sehingga berubah.
Agama selalu mendorong kita untuk melakukan kebaikan sekalipun kebaikan itu sangat sepele dalam pandangan manusia. Perbuatan sepele dan kecil tapi dilakukan dengan penuh keikhlasan itu dimata Allah akan menjadi besar. Amal yang paling baik adalah amal yang dilakukan secara berkesinambungan sekalipun amal itu kecil. "Kalil pa kalil sara al jibal", sedikit demi sedikit lama lama jadi bukit. Nabi pernah berpesan agar kita membiasakan diri berbuat baik, meskipun sekadar berwajah cerah ketika bertemu seorang saudara, atau meskipun sekadar menyingkirkan duri dari jalan.
Kebiasaan berbuat kebaikan betapa pun kecilnya yang sudah mengakar dalam jiwa maka akan tumbuh menjadi watak kebaikan. Berbuat baik tidak lagi merupakan beban, melainkan menjadi sesuatu yang menyatu dengan dirinya. Marilah menjadikan hari hari kita kedepan sebagai agen of change kearah yang lebih baik.
(Bumi Nuhiyah, Juni 2023)