Manusia lazim memiliki potensi-potensi dasar kehidupan yang dapat dikelompokkan menjadi dua macam. Pertama, kebutuhan anggota badan (al hajat al ud wiyah) seperti makan, minum dan Sebagainya. Kedua naluri atau instink (gharizah) yaitu diantaranya naluri mempertahankan diri (gharizatul baqa) seperti ego dan kerja, naluri lawan jenis (gharizatun nau) seperti seks, dan naluri beragama (gharizah tadayyun) seperti beribadah.
Potensi-potensi tersebut menuntut untuk dipenuhi oleh manusia. Jika tidak, manusia akan mati atau setidak-tidaknya akan susah, resah dan gelisah. Hal ini berbeda dengan karakter dan sifat Tuhan. Tuhan tidak membutuhkan makan, minum dan tidak membutuhkan teman wanita (istri) seks, serta yang lain. sebagaimana firmannya pada surah al an'am ayat 14, " ...... dia (Allah) memberi makan dan tidak di beri makan .... " juga pada ayat 101, " ..... Bagaimana dia (Allah) mempunyai anak, padahal dia tidak mempunyai istri...... "
Manusia yang tengah menjalani puasa harus menahan dan mengendalikan diri dari memenuhi potensi-potensi dasar kehidupan yang fitrah itu, utamanya kebutuhan makan minum dan seks disiang hari. Pada sisi yang lain, orang yang berpuasa mengembangkan potensi lain yang sejalan dengan perintah dan seruan Tuhan yaitu potensi beragama. Dengan demikian orang yang berpuasa berarti berusaha untuk sekuat kemampuannya meneladani karakter-karakter dan sifat-sifat ketuhanan.
Menahan dan mengendalikan diri dari makan dan minum serta seks selama berpuasa sebagaimana sifat dan karakter ketuhanan merupakan hal yang prinsip dalam puasa karena dua kebutuhan fitrah ini terpenting bagi manusia. Dan keberhasilan mengendalikannya mengantar kepada kesuksesan mengendalikan kebutuhan-kebutuhan yang lain. Dalam masa-masa tidak berpuasa manusia memang dipenuhi berbagai nafsu dan keinginan apakah nafsu kebinatangan, nafsu perut, maupun nafsu lain yang cenderung kepada keburukan. Adapun puasa tidak ubahnya pengembaraan dan lawatan yang ditempuh manusia dari alam yang di kelilingi nafsu dan keinginan itu menuju alam malakut yang dipenuhi dengan cahaya dan aroma karakter ketuhanan. Allah SWT berfirman surah At-Taubah ayat 112 " ...... Yang melawat ( melakukan pengembaraan) ".
Nabi Musa a.s. ketika hendak berdialog secara langsung (munajat) dengan Tuhan untuk menerima Taurat, diperintahkan terlebih dahulu berpuasa empat puluh hari dalam rangka membersihkan diri dari berbagai nafsu-nafsu kemanusiaan. Karena dominasi nafsu-nafsu kemanusiaan tidak akan mungkin bersambung dengan haribaan ketuhanan. Puasa dalam hal ini ibarat usaha mengangkat manusia kepada posisi luhur yang layak dengan haribaan ketuhanan. Meneladani karakter ketuhanan memang sangat ditekankan bagi manusia, karena dengan meneladani karakter ilahiah itulah perilaku manusia akan baik selama menjalani tugas pengabdiannya baik sebagai khalifatullah " wakil Allah " maupun sebagai Abdullah " hamba Allah " di bumi. Dalam sebuah mutiara kata yang masyhur di katakan, " berakhlaqlah kamu dengan akhlaq Tuhan ".