Moderasi Beragama dalam Debat Pemilu Kada di Provinsi Sulawesi Barat

Muh Yusrang, S.H (Ketua IPARI Mamuju Tengah & Nominator PAI Award Nasional 2023 & 2024)

Esensi dari debat adalah memberikan opsi yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk menilai program dari paslon mana yang benar-benar berpihak kepada mereka, sehingga dari situlah mereka menentukan pilihan politiknya.

Tahapan demi tahapan proses pemilu kada telah terlaksana. Mulai dari pendaftaran calon kepala daerah, pemilihan nomor, deklarasi hingga sampai pada debat kandidat yang sangat menyita perhatian publik Sulawesi Barat.

Berbagai isu-isu penting pun tereksplorasi secara koheren. Mulai dari isu Birokrasi, isu Pendidikan, isu Kesehatan, isu Pengelolaan SDM dan SDA, serta isu lainnya. Semuanya dibahas dengan cukup baik oleh para kandidat. Tujuannya adalah untuk menarik minat para konstituen melabuhkan pilihannya.

Saya menilai bahwa para konsultan dari masing-masing calon sudah menjalankan tugasnya dengan baik. Hal itu bisa dilihat dari terstrukturnya pemaparan para kandidat terkait program yang mereka tawarkan. Walau terkadang terdapat sedikit kendala dalam delivery of message oleh beberapa calon. Akan tetapi secara substantif hal tersebut sudah tersampaikan dengan cukup baik.

Hanya saja terasa ada sesuatu yang kurang terekspose dalam debat para kandidat kali ini walau sempat disinggung oleh salah seorang kandidat. Hal tersebut adalah Tema tentang Moderasi Beragama. Entah apakah ini luput dari perhatian penyelenggara ataukah merasa bahwa hal ini tidak terlalu urgen untuk diangkat sebagai sebuah tema besar ke dalam panggung debat kandidat.

Padahal, jika kita melihat kondisi demografis masyarakat Sulawesi Barat yang sangat plural atau beragam ini. Tentunya sangat penting untuk mengangkat isu-isu Moderasi Beragama – Isu Toleransi. Sebab salah satu hal yang dapat meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia kita ialah jika dapat terliterasi dengan baik dalam melihat keberagaman. Tidak gagap dalam menyikapi perbedaan.

Perlu diketahui bahwa keberagaman khususnya dalam hal keagamaan yang kita miliki tidak hanya menjadi kekuatan dalam menjaga kerukunan melainkan sejalan dengan hal tersebut ia pula berpotensi terjadinya konflik. Dalam teori Resolusi Konflik hal tersebut dikenal dengan istilah Konflik Laten.

Konflik laten itu sendiri secara sederhana bisa difahamai sebagai suatu kondisi sosial yang berpotensi terjadinya konflik dimana pemicunya bisa dari banyak faktor dan biasanya bermuara pada isu kesukuan dan keagamaan.

Jika kembali melihat ke belakang, maka kita akan mendapati bagaimana kemudian wilayah kita pernah diperhadapkan pada situasi konflik kepentingan politik yang akhirnya pecah menjadi konflik sosial berdimensi keagamaan. Belum lagi konflik agraria berujung pada isu kesukuan dan bahkan keagamaan.

Salah satu potensi konflik yang terdapat di wilayah Sulawesi Barat yaitu adanya wilayah-wilayah transmigrasi. Memang sejauh ini wilayah-wilayah tersebut cukup kondusif. Tidak ada konflik yang cukup berarti. Namun jika kita menggunakan kacamata analisis konflik maka kondisi tersebut merupakan potensi konflik yang sangat besar di kemudian hari.

Potensi-potensi konflik tersebut sejatinya sudah dimitigasi oleh aparat terkait. Seperti pembentukan Forum Kerukunan Umat Beragama. Akan tetapi sebagai sebuah kondisi yang cukup labil tentunya diperlukan sebuah langkah-langkah yang kongkrit oleh para pemangku kebijakan dalam hal ini adalah para kepala daerah agar ke depan konflik laten tersebut dapat diredam pemicunya atau bahkan tidak terjadi sama sekali.

Hal ini lah yang kurang dieksplore dalam debat kandidat beberapa waktu yang lalu. Kenihilan konflik sosial berdimensi keagamaan seolah menutup mata kita pada fakta bahwa ancaman tersebut sangat terbuka lebar. Ibarat tumpukan sekam yang hanya menunggu waktu api terpantik dan menghanguskannya.

Walau sempat disinggung oleh salah satu pasangan akan tetapi hal tersebut tidak kemudian memberikan gambaran kongkrit langkah inovatif apa yang akan ditempuh didalam membumikan nilai-nilai moderasi beragama di Sulawesi Barat khususnya di masing-masing daerah.

Padahal konstitusi kita itu sangat erat relasinya dengan moderasi beragama atau keagamaan itu sendiri. Semisalnya di dalam Pasal 29 ayat 2 UU D 1945 yang menyatakan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.
Pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mengatur, membina dan mengawasi pelaksanaan kehidupan beragama dalam rangka menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk sesuai dengan amanat konstitusi.

Kehadiran Agama dalam konstitusi atau sistem kenegaraan kita itu sangat terasa dan hal tersebut bisa kita dapati pada teks pembukaan UUD 1945 alinea ke 3 yang menyebtukan: Atas berkat Rahmat Allah yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan Luhur, supaya berkehidupan  Kebangsaan yang bebas, maka Rakyat Indonesia menyatakan dengan ini Kemerdekaannya.

Begitu pula di dalam sistem peradilan bangsa kita yang memiliki kekhasannya sendiri. Umumnya lembaga peradilan negara lain itu terdiri dari dua tipologi Peradilan yaitu Peradilan Umum dan Peradilan Militer. Sedangkan Indonesia sangat berbeda.

Di dalam pasal 24 UUD 1945 menyebutkan empat lingkup peradilan dalam sistem kekuasaan kehakiman yaitu Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, Peradilan Militer dan Peradilan Agama. Ini membuktikan bahwa nilai agama begitu erat hubungannya dengan penegakkan hukum dikonstitusi kita.

Belum lagi dari sektor pendidikan yang bernuansa agamis. Seperti yang dijelaskan pada pasal 31 ayat 3 UUD 1945 menyebutkan bahwa tujuan sistem pendidikan nasional ialah meningkatkan iman dan takwa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Bahkan di perjelas lagi di ayat 5 bahwa kemajuan pengetahuan dan teknologi harus menghormati nilai-nilai agama.

Semakin dalam menyelami konstitusi yang dimiliki oleh Bangsa Indonesia maka semakin mendapati bahwa nilai-nilai agama sulit terpisah dengan negara ini. Segala sendi kehidupan berkonstitusi kita erat hubungannya dengan agama.

Demikian pula Presiden terpilih pun jika dilantik menggunakan bahasa agama. Para petinggi negara baik itu eksekutif, legislatif bahkan yudikatif sekalipun. Semua akan diambil sumpahnya berdasarkan agama dan kepercayaanya masing-masing.
Sehingga penting rasanya mengangkat isu terkait keagamaan dalam debat yang dilakukan. Terlebih jika kondisi sosial masyarakat kita sangat beragam. Tentunya sangat menunjang untuk kemudian mendebatkan arah mitigasi konflik keberagaman tersebut kedepan seperti apa.

Namun kidung kehidupan terus bergema, membawa semangat baru untuk meraih mimpi. Tak terlirik bukan pertanda bahwa ia tak penting melainkan hanya momentum yang tak menghendaki ia terjamah.
Harapan bagi masyarakat bahwa niat di dalam memilih akan kembali kepada diri kita. Jika berniat untuk kesejahteraan bersama maka kita akan menemukan sosok pemimpin yang benar-benar peduli dan memahami dengan baik apa yang kita butuhkan.

Akan tetapi niat tidaklah cukup di dalam memilih sosok pemimpin melainkan dibutuhkan pertimbangan yang cukup besar dan tentunya kejujuran pada diri sendiri serta ikhlas tanpa paksaan dari pihak manapun. Jika kita jujur dan ikhlas didalam memilih maka kita akan mendapati sosok pemimpin yang jujur dan ikhlas pula mengabdi untuk kita.

Jika ditarik dalam Aqidah Islam, maka kita diajarkan oleh agama kita bahwa apa yang kita tabur maka itu yang akan kita tuai. Jika kebaikan kita tabur maka kebaikan pula yang kita tuai dan begitu pula sebaliknya. Hal tersebut sebagaimana di firmankan Allah SWT dalam Q.S Az Zalzalah ayat 7-8.
فَمَنْ يَّعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَّرَهٗۚ ٧ وَمَنْ يَّعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَّرَهٗ ࣖ ٨
Artinya: “Siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarah, dia akan melihat (balasan)-nya. Siapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarah, dia akan melihat (balasan)-nya.

Harapannya bahwa siapapun yang memimpin kampung kita, ia dapat memberikan kontribusi yang besar terhadap pembangunan daerah ini khususnya terhadap keamanan dan kenyamanan setiap insan yang menetap dikolong langit bumi Lita’ Mandar umumnya dan khususnya di bumi Lalla’ Tassisara’.


Opini LAINNYA