Dalam sejarah peradaban Islam, mesjid punya peranan yang sangat penting dalam pengembangan kajian keislaman. Ketika Nabi melakukan hijrah ke yastrib yang kelak diubah namanya menjadi Madinah, Nabi melakukan terobosan peradaban yang menjadi acuan perkembangan peradaban Islam. Nabi dalam peristiwa hijrah tersebut meletakkan dasar atau fondasi dasar dalam memajukan peradaban Islam kedepan. Yang pertama sekali dibangun oleh Nabi ketika sampai di Madinah adalah mesjid sebagai tempat ibadah dan tempat melakukan diskusi-diskusi keagamaan, para sahabat memanfaatkan mesjid sebagai tempat ibadah dan tempat bertanya tentang persoalan keagamaan dan sosial bersama dengan Nabi.
Mesjid sebagai tempat peradaban keilmuan dan keimanan, menjadi orientasi utama Nabi dalam mencetak kader-kader umat dalam melanjutkan misi peradaban Islam kedepan. Peradaban yang dicoba diletakkan oleh Nabi adalah kelanjutan yang diterima oleh Nabi sewaktu aktif bolak balik ke gua hira dan menerima Wahyu pertama berupa perintah untuk membaca. Mesjid sebagai simbolisasi dari peradaban iqra', bangunan kemesjidan tidak bisa dilepaskan dari peradaban keilmuan yang merupakan implementasi dari simbol iqra'.
Itulah yang menjadi keberhasilan Nabi dalam menjalankan tugas tugas kerasulannya, yang dimulai dari gua hira sebagai tempat untuk merenung, bermeditasi dan tempat atau sumber peradaban keilmuan lewat perintah iqra'. Dan bekal itulah yang menjadi dasar Nabi dalam membangun masyarakat madani, yang dicita -citakan setelah hijrah dari Makkah ke Madinah. Sehingga dalam rentang waktu yang tidak lama dalam proses dakwah Nabi yang secara keseluruhan berlangsung selama 23 tahun.
Dua simbol peradaban Islam yaitu simbol iman dan ilmu, adalah model peradaban Islam yang tahan banting sejarah, masa-masa kejayaan Islam juga tidak terlepas dari kedua model peradaban tersebut. Dalam istilah Buya Syafii "fakultas dzikr dan fakultas fikr', itu merupakan simbol dari mesjid dan ilmu atau kajian-kajian keislaman. Salah satu universitas terbesar dan tertua yaitu universitas Al Azhar, itu adalah awalnya berupa bangunan mesjid, mesjid tempat ibadah dan kajian keislaman kemudian melahirkan didalamnya universitas Al Azhar, kalau universitas-universitas di Indonesia, bangun dulu universitas setelah itu membangun mesjid didalamnya.
Saatnya kita kembali memfungsikan mesjid sebagai tempat untuk merasakan kedekatan dengan Tuhan sehingga melahirkan manusia-manusia yang bermoral dan sebagai tempat peradaban ilmu, tempat kajian keislaman, tempat pengajian dengan mengkaji kitab-kitab peninggalan ulama-ulama klasik maupun ulama-ulama kontemporer, tempat diskusi keilmuan untuk menambah wawasan para generasi muda yang akan melanjutkan tali estafet peradaban Islam kedepan.
Banyak mesjid yang mencoba untuk mengaktifkan kembali atau menghidupkan kajian-kajian keilmuan disamping sebagai ibadah mahdha untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Di banyak universitas di Indonesia, ada yang terkenal dengan kajian-kajian keislamannya, di era tahun 80 an sampai era 90 an, mesjid Salman ITB menjadi tempat kajian yang paling terkenal pada waktu itu, para cendekiawan dan mahasiswa sering berkumpul untuk mengkaji tema-tema keislaman, tema-tema kajiannya sangat hidup dan digemari oleh calon-calon cendekiawan muslim, kajian-kajian keislaman diinisiasi oleh Imaduddin Abdulrahim salah seorang cendekiawan muslim yang akrab di panggil Bang Imad, yang banyak mewarnai pemikiran keislaman ditahun 80 an sampai 90 an bersama-sama Nurcholish Madjid dan Jalaluddin Rakhmat.
Di Makassar juga marak kajian-kajian keislaman di tahun 80 an, salah satu yang paling terkenal adalah kajian keislaman mesjid Aqsa yang berada di dekat pantai losari, mesjid ini menjadi pusat diskusi keislaman yang diinisiasi oleh cendekiawan ilmu-ilmu umum maupun agama yang berasal dari Unhas dan IAIN, tokoh yang punya andil besar dalam mempertahankan kajian keislaman di mesjid Aqsa adalah Prof Dr Ahmad M Sewang, dia punya jasa besar dalam menghidupkan kajian keislaman lewat diskusi-diskusi dengan mengundang berbagai tokoh atau cendekiawan muslim yang sudah punya nama besar. Dan Prof Ahmad Sewang sewaktu memimpin IMMIM, banyak jasa-jasa intelektual yang disuntikkan dalam kegiatan-kegiatan keagamaan di IMMIM diantaranya adalah mengaktifkan diskusi keilmuan terhadap tokoh agama dan muballiig yang di kota Makassar dan sekitarnya.
Begitupun sewaktu menjadi direktur pendidikan kader Ulama MUI Sulawesi Selatan, ditahun 90 an, Prof Ahmad Sewang yang memprakarsai kuliah umum untuk kader ulama yang dilaksanakan tiap akhir pekan, dan para pemateri adalah ulama-ulama atau cendekiawan baik yang berasal dari Makassar maupun dari Jakarta. Pendidikan kader ulama yang digagas oleh tokoh-tokoh MUI pada waktu itu diantaranya KH Sanusi Baco, KH Makmur Ali, Prof Hamka Haq, dan ulama-ulama lainnya memanfaatkan komplek mesjid raya Makassar sebagai tempat pengkaderan, disitu dimanfaatkan mesjid raya sebagai tempat ibadah dan tempat kajian keilmuan. Sampai sekarang mesjid raya Makassar sebagai tempat kajian keislaman yang cukup aktif di Makassar.
Untuk mengembalikan fungsi mesjid sebagai tempat peradaban Islam, adalah dengan mengfungsikan mesjid bukan sebagai tempat ibadah mahdha saja namun harus dibarengi, sebagai tempat pengkajian keislaman atau tempat pengajian keilmuan Islam seperti fiqh, hadis, tafsir, sejarah Islam dan ilmu-ilmu keislaman lainnya. Untuk mengangkat kembali peradaban Islam yang pernah berjaya pada masa lalu, aspek keilmuan perlu mendapat perhatian oleh para generasi muda, sebab itu menjadi modal dasar dalam membetuk generasi yang handal kedepan. Generasi yang kuat secara imani dan kuat secara ilmu.
(Bumi Pambusuang, 28 Januari 2024)