Merayakan Iman

Oleh : lham Sopu

Melihat judul diatas yakni merayakan iman, agak kurang familier, tidak terbiasa kita dengar, kok iman dirayakan. Dirayakan disini bukan dalam arti dirayakan secara hura-hura tanpa ada makna yang substansi dari peringatan tersebut. Pemahaman iman yang kita pahami sebagian dari kita selama ini, iman dalam arti kepercayaan, percaya kepada Tuhan, Malaikat, Kitab-kitab, Rasul atau Nabi, Hari akhir, dan Takdir. Ini adalah obyek-obyek yang harus diimani, dan ini diinformasikan dalam hadis ketika Jibril mendatangi Nabi Muhammad, dan langsung menanyakan iman,Islam dan Ihsan yang merupakan trilogi ajaran yang dibawa oleh Muhammad saw.

Iman bukanlah sesuatu yang statis, yang diciptakan sekali jadi dan tidak pernah berfungsi lagi, tapi iman itu adalah sesuatu yang dinamis, dan semua manusia punya potensi keimanan dalam dirinya. Dalam bahasa Cak Nur, bahwa tidak cukup seseorang disebut beriman hanya karena dia "percaya" akan adanya Allah atau Tuhan yang menciptakan langit dan bumi. Kalau iman ini, adalah iman yang statis, iman yang stagnan. Disamping kita percaya kepada Tuhan juga harus mempercayai Tuhan dan menaruh kepercayaan kepada Tuhan. Kalau pengertian seperti iman ini, iman mengalami perkembangan atau peningkatan dalam diri kita. 

Jadi iman itu hakekatnya adalah kategori yang dinamis, bisa saja iman seseorang menyusut, dan bisa juga berkembang atau menguat. Kalau demikian, apakah iman itu bisa hilang dari seseorang?, kalau mengalami penurunan terus-menerus, kalau merujuk kepada hadis yang terkenal yang sering dikutip oleh para Mubaligh, bahwa kalau melihat kemungkaran rubahlah dengan tanganmu, tangan disini adalah kekuatan atau pemerintah, kemudian dengan lisan atau ucapan, punya kapasitas komunikasi yang baik dalam menyampaikan pesan-pesan kebenaran atau kebaikan, kemudian dengan qalbun atau hati dan itulah iman yang terlemah. 

Itulah hirarkis keimanan yang disebut dalam hadis, Nabi hanya menyebut tiga kategori, ketika kita melihat sesuatu yang mungkar atau kemungkaran sosial dalam masyarakat mesti kita semua punya peran untuk memperbaiki masyarakat atau bangsa yang bermasalah, sekalipun peran-peran itu tidak terlalu signifikan merubah secara drastis kearah yang lebih baik. Dan peran yang terbawah adalah tidak menyukai kemungkaran tersebut, ini adalah selemah-lemah iman atau iman secara pasif.

Mungkin dalam konteks sekarang dengan melihat kondisi kemungkaran yang semakin masif, seandainya Nabi masih hidup kemungkinan akan menambah lagi satu hirarkis iman diatas, yakni iman yang terlemah, dibawah selemah-lemah iman. Iman yang terlemah disini, tidak lagi membeci dalam hati, tapi merasa cuek atau tak peduli dengan keadaan sekelilingnya, bahkan merasa senang dengan kondisi masyarakat atau bangsa sudah jauh dari nilai-nilai moral, atau terpuruk secara moral. Iman orang seperti ini sudah tertirai, tidak bisa lagi merasakan bisikan-bisikan nurani yang ada dalam dirinya.

Disitulah dinamisasi keimanan, iman itu perlu pembuktian,dengan banyak bergumul dengan persoalan-persoalan kemasyarakatan atau kebangsaan akan membangkitkan posisi keimanan kita atau realitas keimanan kita. Iman yang sifatnya personal itu diterjemahkan dalam aspek sosial, itulah sebabnya para ulama dulu, dalam mendefinisikan iman itu mencoba mengkaitkan  iman yang sifatnya personal, kemudian dikaitkan dengan kehidupan sosial kemasyarakatan. Definisi yang sering kita dengar adalah bahwa iman itu ada dalam hati, kemudian diucapkan oleh lidah dan diamalkan oleh anggota tubuh. Ini adalah definisi iman yang aplikatif dan holistik, bahwa iman itu dasarnya dalam hati, tapi ujungnya adalah berbentuk amal sosial dalam kehidupan kemasyarakatan.

Definisi diatas yang dipopulerkan para ulama klasik, itu sangat sejalan dengan berbagai hadis Nabi, Nabi dalam berbagai hadisnya sering mengkaitkan kepercayaan kepada Allah dengan amalan-amalan sosial dalam kehidupan sehari-hari. Berikut hadits-hadits Nabi yang keterkaitan beriman kepada Tuhan dengan amalan-amalan sosial:
1. Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah berkata baik atau diam.
2. Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia menyambung silaturrahim.
3. Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia memuliakan tetangganya.
4. Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia menghormati tamunya.

Keempat hadis diatas, yang biasa disebut hadis 'Man Kana', istilah penulis, memberikan  pemahaman kepada kita tentang makna iman yang sebenarnya, bahwa iman itu tidaklah berdiri sendiri. Ada kelanjutan setelah kita berkomitmen untuk beriman kepada Tuhan. Ada dinamisasi yang terkandung dalam keimanan. Keempat hadis diatas dan mungkin banyak hadis lainnya yang senada, memberikan penjelasan kepada kita, bahwa percaya kepada Tuhan dan hari akhir, atau beriman kepada Tuhan punya efek sosial bukan sekedar percaya to' saja, percaya kepada Tuhan mesti harus terbiasa dengan mengeluarkan perkataan-perkataan yang baik, dan menjadi karakter kita dalam kehidupan bermasyarakat. Begitupun dengan silaturrahim mesti menjadi bagian dari tugas sosial dalam bermasyarakat, terbiasa menjalin komunikasi yang lancar dan tersambung kepada sesama, ajaran shalat memberikan kita isyarat lewat simbol salam, memberikan keselamatan kesamping kanan kiri kita, setelah melakukan komunikasi kepada Tuhan lewat simbol takbir.

Seperti itulah kita merayakan keimanan, simbol iman lewat kepercayaan kepada Tuhan, punya implikasi sosial, punya efek sosial, iman yang tidak punya implikasi sosial yang baik, itulah iman yang stagnan, iman yang statis, yang dalam hierarki hadis diatas dikatakan sebagai selemah-lemah iman.

(Bumi Pambusuang, 9 September 2024)


Opini LAINNYA

Sugesti Maulid (2)

Sumpah Pemuda: Jiwa Muda Untuk Indonesia Emas

Proyek Generasi

Pemuda Hari Ini, Pemimpin Masa Depan

Doa

Pasya Gorontalo : dalam perspektif Islam!