Sangat menarik judul di atas "Menulis sebuah wiridan", kalimat ini diungkapkan oleh Prof Ahmad M Sewang dalam suatu diskusi yang diselenggarakan oleh nusa pustaka (perpustakaan) Pambusuang. Diskusi yang mengangkat tema tentang sejarah diaspora etnis alawiyyin di Nusantara. Namun dalam tulisan ini tidak akan mengupas tentang sejarah masuknya etnis Alawiyyin atau orang Arab (Sayyid) ke Nusantara. Namun punya kaitan karena para penyebar Islam ke Nusantara itu di bawa oleh para pedagang, tokoh agama atau tokoh-tokoh suci (sufi), yang punya misi untuk berdagang sekaligus menyebarkan agama yakni agama Islam.
Para penyebar Islam atau islamisasi di kepulauan Nusantara berlangsung cukup cepat penyebarannya. Ini disebabkan karena disamping para penyebar Islam adalah para tokoh-tokoh utama yang punya kapasitas untuk menyampaikan Islam secara damai juga karena obyek dakwah atau masyarakat yang ditempati untuk menyampaikan misi dakwah bukanlah masyarakat hampa budaya. Sebelum masuk Islam ke Indonesia, budaya Hindu Budha sudah sangat mengakar, dan pembawa Islam sangat akomodatif terhadap budaya Hindu Budha, tidak langsung menghapus budaya tersebut tetapi mencoba memberikan makna-makna baru baru terhadap budaya tersebut. Para pembawa Islam ke Nusantara itu yang sebagian adalah para tokoh agama atau sufi, punya kapasitas yang mumpuni dalam menyampaikan misi Islam, dan begitupun punya pengetahuan literasi yang kuat.
Istilah wirid adalah istilah agama yang banyak disebut dalam dunia tasawuf, istilah ini hampir sama maknanya dengan dzikir, cuma wirid itu umum, karena mengandung makna kebiasaan, wirid secara umum adalah kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan secara kontinyu, misalnya kebiasaan membaca Al Qur'an sesudah shalat itu adalah wirid, dan itu dilakukan secara terus-menerus. Atau apa saja kebiasaan yang punya nilai yang baik, itu bisa masuk kategori wirid. Namun pemahaman kita selama ini bahwa wirid itu adalah bacaan tayyibah yang kontinyu kita lakukan. Misalnya kita menjadikan wirid shalawat kepada Nabi seratus kali dalam satu hari sebagai wirid, dan itu kita tidak pernah alpa mengamalkannya, itu adalah wirid.
Dan wirid itu adalah suatu prestasi tersendiri dalam beribadah kepada Tuhan, bahkan ada Ulama mengatakan bahwa "Siapa yang tidak punya wirid, dia itu bagaikan monyet". Ini perumpamaan bagi orang yang tidak konsisten dalam beribadah, bahwa beribadah itu punya nilai istiqamah dalam mempertahankan keyakinan kepada Tuhan.
Menarik istilah yang disampaikan oleh Prof Ahmad M Sewang terkait pengembangan dalam dunia literasi untuk menjadikan "menulis itu sebagai wiridan". Menjadikan menulis sebagai wirid adalah merupakan hal yang sangat positif untuk pengembangan diri dalam dunia literasi. Suatu bentuk pemaksaan diri dalam pengembangan keilmuan dalam bentuk menciptakan karya-karya tulis yang punya nilai perennial keilmuan ke depan. Betapa ulama-ulama terdahulu sangat punya konsentrasi dalam bidang tulis menulis, ini terbukti banyaknya hasil-hasil karya mereka yang bisa kita nikmati sampai hari ini. Betul-betul mereka menjadikan menulis kitab sebagai wirid harian yang mereka wariskan kepada kita, Katakanlah misalnya Al Gazali yang punya karya yang sangat banyak, salah satu karya besarnya adalah Ihya Ulumuddin yang berjilid-jilid, betapa Al Ghazali menjadikan menulis sebagai jihad intelektual sebagai wirid hariannya.
Banyak ulama-ulama yang sezaman, maupun sebelum dan sesudahnya Al Gazali yang menjadikan menulis sebagai wirid hariannya, Begitupun di zaman kontemporer, dalam konteks Indonesia kita mengenal Buya Hamka dengan tafsir Al Azharnya, Quraish Shihab dengan tafsir Al Misbahnya, Nurcholish Madjid dengan karya-karyanya yang begitu banyak, dan sederet penulis-penulis lainnya yang menjadikan menulis sebagai wirid hariannya. Dan karya-karya mereka akan tetap menjadi amal jariyah bagi generasi-generasi berikutnya. Sekalipun mereka sudah lama meninggal, tetapi ada karya-karya intelektual yang mereka tinggalkan, itu akan menjadi cerita yang baik untuk generasi berikutnya dan itu secara teologis akan mendapatkan nilai pahala untuk mereka karena meninggalkan nilai keilmuan yang bermanfaat.
Dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu masif itu akan sangat membantu kita untuk berkreasi dalam dunia tulis menulis, fasilitas yang diberikan oleh teknologi kepada kita sangat mudah kita lakukan. Di manapun kita bisa menuangkan fikiran kita dalam bentuk tulisan karena difasilitasi dengan alat teknologi yang begitu canggih. Dengan bermodalkan hp android yang bisa di bawa kemana-mana itu akan banyak membantu untuk menuangkan gagasan yang ada dalam fikiran kita dan bisa diramu dalam bentuk tulisan.
Kita harus banyak belajar kepada ulama-ulama klasik yang banyak menghasilkan karya maupun ulama-ulama kontemporer yang menjadikan menulis sebagai wirid harian bagi mereka. Ini hal yang sangat positif guna pengembangan dunia intelektual khususnya dalam kegiatan menulis. Kita paksa diri kita untuk bisa memanfaatkan teknologi sebagai fasilitas dalam pengembangan diri kita bukan hanya sebagai media komunikasi lisan tetapi juga sebagai komunikasi dalam bentuk tulisan. Kita mulai dari tulisan-tulisan yang singkat dalam bentuk status di FB, manfaatkanlah status di FB dengan tulisan-tulisan yang punya nilai manfaat. Itu akan sangat bermanfaat untuk pengembangan diri sekaligus juga ada nilai manfaat untuk orang, dan sebagai wiridan harian kita disamping wirid-wirid dzikir yang diajarkan agama kepada kita.
Bumi Pambusuang, Maret 2023