Sore itu udara cukup sejuk untuk ukuran Jakarta. Saya pun tak menyia-nyiakannya untuk berkeliling-keliling wilayah tempat tinggal saya. Dengan menggunakan motor tua kesayangan, saya melaju perlahan menembus lalu-lalang kendaraan yang yang tampak tidak rapi. Namun tiba-tiba pandangan saya tertuju pada satu objek yang cukup menarik, sebuah logo Dhamma Cakka (roda Dhamma) di kaca belakang sebuah mobil. Saya langung berpersepsi dengan yakin bahwa pemilik mobil ini pastilah seorang Buddhist. Lalu apa urusannya? Memang tidak ada urusan, karena pemilik mobil itu tidak saya kenal, bukan saudara saya, dan saya tidak pernah berurusan dengannya, tetapi saya bangga karena ada orang yang berani menunjukan bahwa dirinya adalah seorang Buddhist.
Kita semua tahu bila pada hari jumat ada beberapa orang dengan mengenakan baju putih, bercelana panjang atau sarung, pasti itu saudara kita yang akan beribadah ke Masjid. Demikian pula bila pada hari Minggu seseorang dengan ymenggunakan pakaian sangat rapi mungkin dengan jas lengkap dan membawa sebuah buku besar, maka pastilah dia saudara kita yang akan beribadah di Gereja, Lalu Buddhist? Kita bahkan sulit mengenali mana orang yang akan pergi ke Vihara atau ke pantai, pasar, atau, mall. Mungkin karena ajaran Buddha tidak lebih mementingkan keindahan fisik dan sebaliknya sangat mengutamakan perilaku baik kepada semua makhluk. Dan mungkin rupanya hal seperti itu tidak di dasari kebijaksanaan sehingga orang-orang bisa sesukanya dalam berpakaian di vihara. “Yang penting kan saya tidak melanggar sila, saya berdana, dan rajin bermeditasi” begitulah beberapa pendapat umat. Lalu apakah tidak ada ciri khas khusus dalam Agama Buddha yang dapat diajukan kebanggaan tersendiri? Banyak! Tentu kita memilik banyak symbol-simbol Buddhist seperti Buddharupam, Dhammacakka, Stupa, pohon Bodhi, dan masih banyak lagi lainnya, hanya saja mungkin tidak banyak dari Umat Buddha yang dengan bangga menggunakan symbol identitas agama Buddha.
Penggunaan symbol-symbol Budhist punya nilai-nilai, bukan hanya sebagai identitas keyakinan semata, namun lebih dari itu dapat bermanfaat bagi kita, dan tentunya memiliki nilai keindahan tinggi, dan menurut saya Pohon Bodhi memiliki semua criteria di atas terlebih pohon Bodhi memiliki cerita sejarah yang menarik karena di bawah pohon inilah petapa Gotama mendapatkan perlindungan dari panas dan hujan dalam usaha beliau mencapai penerangan sempurna dan menemukan Dhamma, yang kemudian diajarkan untuk kebahagiaan semua makhluk. Tak heran bila setelah pencerahanNya Buddha Gotama kemudian mengungkapkan terima kasihnya dengan memandangi pohon itu selama tujuh hari tanpa berkedip.
Pohon Bodhi dalam bahasa latin dinamai Ficus religiosa L. Tumbuhan ini masuk dalam suku Moraceae (beringin) yang biasanya memiliki ciri khas daunnya yang relatif tebal, agak berdaging (sukulen), serta dari buahnya yang bukan merupakan buah sejati karena terbentuk dari dasar bunga yang membesar lalu menutup sehingga membentuk bulatan seperti buah. Bunganya tersembunyi di dalam "buah" dan diserbuki oleh serangga tertentu. (id.Wikipedia.org).
Pohon Bodhi memiliki ciri khas bentuk daun bulat memanjang dengan ujung daun melengkung. Dari bentuknya saja kita sudah dapat menilai bahwa ini adalah pohon yang bagus karena berdaun unik dan indah, sebagian orang di Jawa Tengah bahkan menyebut daun Bodhi seperti “Gunungan” (wayang berbentuk gunung) yang selalu dimainkan dalang pada saat pembukaan, penutupan, maupun pergantian babak dalam pagelaran seni wayang kulit.
“Bodhi” bukan Nama
Dalam sejarah riwayat para Buddha (Buddhavamsa) selalu dijelaskan mengenai Orang tua Boddhisatta, Nama siswa Utamanya, Jumlah Pengikutnya, dan lain-lain termasuk nama pohon Bodhi tempat seorang petapa Boddhisatta mencapai penerangan sempurna. Jadi kata “Bodhi” bukanlah nama pohon itu sendiri tetapi merupakan istilah yang menunjukan pohon pencerahan (dalam Bahasa pali kata “Bodhi’ berarti “Penerangan Sempurna”). Jadi pohon Bodhi dalam riwayat masing-masing Buddha berbeda, misalnya: Sammasambuddha Vipassi mencapai penerangan sempurna di bawah pohon Pataliya. Sammasambuddha Sikhi di bawah pohon Pundarika, Sammasambuddha Vessabhu di bawah pohon Sala, Sammasambuddha Kakusandha di bawah pohon Sirisa, Sammasambuddha Konagamana di bawah pohon Udumbara. Sammasambuddha Kassapa di bawah pohon Nigrodha, dan Sammasambuddha Gotama di bawah pohon Assattha. (Mahapadana Sutta, Digha Nikaya). Oleh karena itu akan lebih baik bila menyebut pohon Assattha mengingat kita hidup dalam zaman Buddha Gotama.
Sulit tapi Tangguh
Selain daunnya yang indah dan lebat serta batangnya yang menyebar, ada satu kelebihan dari pohon ini yaitu ketahanannya dalam musim yang tak menentu baik itu musim kemarau maupun musim hujan yang berlebihan. Pengalamanlah yang memberitahu saya. Masih terbayang ketika banjir melanda Jakarta pada Februari 2007 yang merendam pohon Assattha kesayangan saya selama seminggu lebih, sayapun terheran ketika air surut pohon itu masih hidup dengan daun-daun yang masih hijau, hanya sedikit kerusakan pada sisi-sisi daun namun secara keseluruhan pohon ini masih sehat. Pohon Assattha juga memiliki akar yang besar dan kuat, bahkan akarnya mampu merambat menembus tanah hinggga 20 meter. Hal demikian Saya dapati di salah satu vihara di Jakarta, bahkan sebagian keramik halaman Dhammasala terangkat, padahal Dhammasala itu dibangun dengan pondasi yang sangat kuat. Dengan rambatan akar tunggang sepanjang itu, pohon ini sangat cocok untuk reboisasi untuk mampu mencengkram dan menahan tanah dari longsoran. Mungkin ini salah satu alasan mengapa petapa Gotama memilih pohon ini sebagai pelindungnya, karena sebagai pelindung, pohon ini benar-benar sangat kuat. Namun dari pengalaman pula saya mengetahui bahwa pohon Asattha sulit untuk di anakan. Saya pernah mencoba menebar bijinya dalam media tanam namun saya tak pernah menemukan tanda-tanda pertumbuhan pada biji-biji itu, anehnya terkadang saya sering menjumpai pohon asattha kecil (bukan dari akar, melainkan dari biji tentunya) yang tumbuh dengan suburnya. Aneh bukan? Tidak aneh hanya saja saya belum menemukan jawabannya. Namun bukan berarti pohon unik ini sulit dikembang biakan. Ada dua cara yang sering dan mudah digunakan, yaitu dengan cara mencangkok atau dengan cara stek. Masing-masing memiliki kelebihan, dengan mencangkok kita dapat mendapatkan pohon dengan kualitas akar yang baik tanpa mengganggu pertumbuhan batang dan daun namun cara ini membutuhkan waktu yang cukup lama, minimal 3 bulan. Sedangkan penggunaan stek dapat lebih praktis, dan dapat dilakukan dalam jumlah banyak, dan waktu pertumbuhan yang cukup singkat, hanya membutuhkan waktu kurang dari 3 minggu (tumbuhnya tunas daun), namun harus mengorbankan kondisi batang yang umumnya mengalami sedikit kerusakan selama proses itu. Apakah Anda tertarik untuk menanam pohon Assattha ini? Berikut tips praktis berdasarkan pengalaman saya.
1. Siapkan batang pohon Asattha dengan panjang 10 cm dengan diameter batang 1.5-2 cm
2. Siapkan pot (dapat menggunakan gelas air mineral yang diberi lubang dibagian dasarnya
3. Masukan pupuk kandang murni yang sudah disterilisasi sehingga berbentuk tanah yang lembab, atau dapat pula menggunakan pupuk kandang atau kompos buatan sendiri. Masukan hingga memenuhi badan pot.
4. Tancapkan batang pohon bodhi ke dalam pot hingga setengah badan batang.
5. Siram dengan air hingga cukup lembab untuk membasahi tanah. Jangan menyiram dengan berlebihan apalagi dalam kondisi musim hujan, batang dapat membusuk dan menggagalkan proses pertumbuhan akar dan daun.
6. Tunggu hingga 1 – 2 minggu, akan muncul tunas daun baru pada batang.
7. Biarkan hingga 2 bulan agar akar tumbuh dengan sempurna dan kuat.
8. Pindahkan ke pot yang lebih bagus. Yang perlu diingat jangan pernah mencoba menanam tanpa pot di rumah Anda, karena akarnya mampu merusak struktur pondasi rumah. Sangat sulit untuk mematikan pohon ini bila sudah terlanjur besar walaupun anda menebangnya, karena akarnya akan terus hidup untuk menumbuhkan tunas-tunas baru.
Banyak Umat berpendapat bahwa kurang tepat bila pohon Asattha sebagai Pohon Bodhi ditanam sebagai tanaman hias. Itu semua kembali bagaimana Anda yang menilai, tapi bagi saya kenapa tidak? Karena kita menanam tanaman adenium atau anthurium yang mahal sebagai hiasan, mengapa kita tidak menanam pohon Assatha? Yang memiliki nilai religious dan sejarah tinggi, dan menunjukan bahwa kita adalah seorang Buddhist, lagi pula bukankah dengan menanam kita dapat menghijaukan rumah dan membuat rumah kita semakin sehat? Kekurang tepatan bagi saya adalah bila kita menanam pohon Assatha tetapi kemudian menelantarkannya, dan membiarkan rumput liar tumbuh hingga akhirnya hilanglah nilai-nilai dari Sang Peneduh ini.
Mari menanam!