Indonesia adalah rumah besar kita bersama yang membentang luas dari Sabang sampai Merauke dari Miangas sampai pulau Rote. Sebagai rumah besar, Indonesia memiliki aneka kekayaan alam dan sumber daya manusia yang unggul. Semua ini adalah milik kita bersama. Maka itu, isi dari rumah besar ini seyogianya harus dijaga, dipelihara dan dikembangkan demi kita dan anak cucu kelak. Kita harus berpikir luas mendalam namun betindak lokal, think globally, act localy.
Bangsa yang cerdas adalah bangsa yang saling memanusiakan satu dengan yang lain. Semua warganya saling mengayomi dan menghargai. Menjadi saudara bagi yang lain. Tidak boleh ada yang merasa superior dan yang lain inferior. Semua sama di hadapan Tuhan karena sederajat dan secitra. Untuk itu, nilai-nilai kebangsaan harus dihidupi secara sungguh-sungguh demi tegaknya NKRI. Misalkan, mencintai orang lain bermula dari bagiamana kita mencintai diri dan keluarga. Begitu juga mencintai Indonesia sebagai bangsa yang besar harus dimulai dari diri sendiri dan tempat kita berada.
Dalam kegiatan Kemah Kebangsaan di Tondok Bakaru, Mamasa, Adrinof Caniago, pengamat kebijakan publik, mengutarakan bagaimana sejarah panjang bangsa Indonesia yang mengalami pasang surut kehidupan. Di satu sisi bangsa Indonesia memiliki potensi yang luar biasa tetapi di sisi lain tidak berkembag secara maskimal dibanding negara-negara tetangga karena tidak ada kebersamaan, togetherness dan persaudaraan, fraternity. Bangsa-bangsa lain mengalami locatan yang luar biasa karena menghidupi togetherness and fraternity. Bagaimana dengan kita?
Indonesia memiliki potensi yang besar untuk melejit dengan syarat hubungan sosial berjalan dengan baik. Relasi internal dan eksternal berjalan sesuai yang diharapakan. Inilah yang menjadi kekuatan bagi negara-negara tetangga yang berkembang pesat karena mengedepakan kerja sama dan kolaborasi. Pra-syara dari semua ini adalah relasi antar umat (beragama) berjalan dengan baik dan harmonis.
Sukidi Mulyadi, Cendekiawan Muhammadyah, dalam kegiatan Kemah Kebangsaan, mengingatkan kembali akan mimpi the Fouding Fathers yang disebut the Indonesian Dreams. Para pendahulu bangsa misalnya, Agussalim, Muh Hatta, Sukarno, dll memberi keteladanan dalam cara hidup yang ugahari tidak hidup mewah apalagi hedonis, mereka berpikir visioner demi kontinuitas bangsa yang besar ini.
Disebutkan bahwa memimpin atau pemimpin adalah jalan menderita. Kita tidak boleh bermewah-mewah di tengah rakyat yang miskin. Untuk itu yang perlu dilakukan adalah meneladani keteladanan hidup yang ditorehkan para pendiri bangsa, mempertautkan Indonesia dulu dan Indonesia ke depan. Karena Indonesia adalah negara untuk semua. Van Anderson mengatakan, Indonesia as a coming project. Kita dipanggil untuk berkarya demi Indonesia hebat.
Indonesi yang didambakan para pendiri bangsa adalah Indonesia yang berketuhanan, the God Nation. Bangsa yang religious ini harus ditopang oleh spirit kerukunan yang bersifat inheren. Untuk itu, perlu meneladan para tokoh religious baik agama Islam maupun non-Islam. Agama Katolik misalnya, semboyan yang dihidupi adalah seratus persen Katolik dan seratus persen Indonesia. Ini artinya kecintaan terhadap agama dengan sendirinya terimplementasi tehadap kecintaan pada Indonesia.
Salah satu the dream Indonesia adalah religiositas. Sebagaimana yang tecantum dalam Pancasila dan UUD 1945. Indonesia adalah negara beragama bukan negara agama. Maka keselamatan bukan ditentukan oleh sebuah agama tetapi keselamatan ditentukan oleh ketulusna hati/sincerity oleh para pemeluknya. Jagan pernah mengklaim keselamtan itu milik suatu agama. Tetapi keselamatan adalah milik mereka yang jujur dan tulus dalam menjalankan ajaran agama. Kita adalah saudara dalam kemanusiaan saudara dalam agama.
Bagaimana membangun kecerdasan berbangsa? Kecerdasan berbangsa tercipta bila bila semua elemen masyarakat sehat secara fisik dan psikis. Artinya mampu mengolah fisik dengan olahraga dan mampu mengolah diri dengan doa. Selain itu memiliki kecerdasan yang bisa dilatih dan dikembangkan dengan berbagai metode. Akhirnya manusia yang berkualitas adalah yang memiliki karakter atau mentalitas sebagai perpaduan dalam bersikap dan berperilaku. Syarat lain adalah bekerja keras, gigih, pantang meyerah, dan produktif serta tidak mencampuradukkan agama dan politik. Kelemahan kita adalah kemalasan dalam mengolah diri dan potensi yang ada, merasa nyaman dalam zona nyaman. Dalam hal agama, kita beragama namun tidak praktekkan dengan baik dan benar sesuai ajaran agama terkadang hanya mengikuti ritual belaka. Bahkan agama terkadang dijadikan jembatan politik. Bagaimana mimpi Indonesia menjadi kenyataan? Tidak lain dan tidak bukan adalah dengan mulai dari hal-hal kecil dan sederhana, bekerja dengan tulus dan jujur serta melaksanakan agama dengan baik dan benar.