Memaknai Kesibukan, Oleh : Ilham Sopu

Memaknai Kesibukan, Oleh : Ilham Sopu

Kehadiran manusia di muka bumi ini adalah untuk melakukan aktivitas-aktivitas kebaikan, yang dalam bahasa agama adalah penyembahan atau peribadatan kepada Tuhan. Dan penyembahan itu adalah bagian integral dengan diri manusia. Manusia pada dasarnya adalah makhluk penyembah. Namun kadang insting penyembahan tidak nampak pada waktu-waktu tertentu.

Tuhan sudah mendesain manusia sebagai makhluk yang punya kecenderungan untuk selalu ingat kepada yang menciptakannya. Bagaimanapun hebatnya Fir'aun yang mendeklarasikan dirinya sebagai Tuhan, toh pada akhirnya mengakui bahwa ada Tuhan selain dirinya. Merasakan kehadiran Tuhan bagian dari fitrah manusia. Fitrah itu adalah jatidiri manusia, dan akan selalu muncul dalam setiap diri manusia. Fitrah itu hampir sama kedudukannya dengan iman, yang ada pada diri setiap orang.

Kadang kefitrahan seseorang itu tidak nampak dalam kehidupan sehari-harinya, kefitrahan dalam arti selalu berpihak kepada kebenaran, orang yang terlalu sibuk dalam persoalan keduniawian, mereka tidak akan merasakan bisikan fitrah yang ada dalam dirinya. Fitrahnya tertirai dengan tembok-tembok yang tebal yang dia ciptakan sendiri, sehingga jalan untuk menemukan suatu kebenaran terhalangi.

Ada pernah diceritakan oleh Almarhum Fuad Rumi salah seorang kolumnis harian fajar di era 90 an, dia menceritakan salah seorang yang sangat sibuk atau super sibuk, karena kesibukannya dia tidak sempati lagi mengisi ruang-ruang spiritualnya, lalu dia mendatangi seorang Kyai meminta petunjuk, dia bercerita kepada sang Kyai, bahwa dirinya sangat sibuk, bahkan ia berseloroh bahwa waktu 24 jam, tidak cukup lagi digunakan dalam sehari semalam, seandainya waktu itu ditambah menjadi 40 jam dalam sehari semalam itu baru cukup, dan ada waktu untuk mengaji dan belajar agama, pungkasnya.

Lalu Sang Kyai, meminta kepada orang itu, untuk menulis di atas kertas seluruh daftar kesibukannya. Akhirnya orang itu menulis seluruh kesibukannya di atas kertas, mulai dari atas sampai ke bawah lalu diserahkan kepada Sang Kyai. Kemudian Sang Kyai membaca semua daftar kesibukan orang itu dari atas ke bawah yang begitu banyak. Sang Kyai kemudian menulis paling atas dari seluruh daftar jadwal kegiatan yaitu "mengaji", Sang Kyai memasukkan jadwal mengaji ke daftar kesibukan orang tersebut.

Setelah itu Sang Kyai memberikan kepada orang tersebut bahwa sesibuk apapun kita, seharusnya kita, juga menjadikan kegiatan yang dapat membawa kita untuk merasakan kedekatan dengan Tuhan sebagai sebuah kesibukan. Kesalahan orang tersebut tidak menganggap kegiatan-kegiatan rutinitas yang dapat membersihkan ruhani kita sebagai bagian dari kesibukan.

Nasehat Sang Kyai sangat betul, kita mungkin termasuk di antara orang yang merasa sibuk, sehingga tidak bisa menyediakan waktu untuk mengisi jiwa, memperkaya rohani melalui kegiatan-kegiatan yang mencerahkan. Kita menggunakan dalih sibuk sehingga tidak pernah merasa punya waktu lagi, untuk baca buku, mendengarkan ceramah-ceramah yang menyejukkan, ikut pengajian yang dapat menambah wawasan keilmuan kita, dan kegiatan-kegiatan lain yang bisa mengasah rohani dan jiwa kita.

Hal-hal seperti itulah yang harus kita jadikan juga sebagai sebuah kesibukan, jangan hanya hal-hal yang bersifat material, kita jadikan sebagai sebuah kesibukan. Disinilah pentingnya untuk bertawazun atau keseimbangan dalam beragama. Kita akan menjadi makhluk yang pincang dalam memaknai kehidupan, bilamana kita terlalu fokus atau berorientasi kepada hal-hal yang sifatnya material. Mestilah kesibukan-kesibukan tersebut dilandasi dengan hal-hal yang sifatnya spritual, supaya kita tidak mengalami kebangkrutan dalam beragama.

Kita sebagai manusia perlu juga selalu memberikan siraman untuk rohani kita, supaya peka atau bersinar, seperti kata Al Gazali bahwa rohani kita ini ibarat  gelas atau kaca, kalau tidak pernah kita lap tentu akan kabur, dan kita tidak bisa bercermin terhadap kaca yang kabur, perlu kita asah rohani dengan amalan-amalan yang baik, dzikir, wirid-wirid yang bisa membersihkan rohani kita.

Dengan kata lain, rohani ini perlu santapan yang bergizi, supaya bisa menjadi rem terhadap kegiatan-kegiatan yang sifatnya duniawi yang kita lakukan setiap hari. Hanya saja sering kita  kurang peka terhadap pencerdasan rohani, tidak sama dengan kegiatan-kegiatan yang sifatnya material karena nampak oleh pandangan mata, disinilah perlunya kita selalu melakukan perenungan bahwa kita ini adalah manusia, bukan hanya sebagai makhluk jasmani tetapi juga makhluk yang punya sisi-sisi spritual.

Jangan sampai kita seperti yang disindir oleh Al-Qur'an "Fa Aina Tadzhabun", hendak kemana kamu, ini adalah sindiran Tuhan terhadap orang yang salah dalammelakukan perjalanan di dunia ini, mereka berjalan di tempat yang salah, karena mereka tidak berjalan di atas petunjuk Tuhan yang sudah dipersiapkan untuk manusia.

Bumi Pambusuang, Februari 2023.


Opini LAINNYA