Jika ingin menyaksikan perubahan ritme hidup umat Muslim yang begitu drastis, perhatikan apa yang terjadi di bulan suci Ramadan. Perubahan ritme itu tidak hanya terlihat dalam peningkatan intensitas ibadah, tetapi juga dalam pemenuhan kebutuhan jasmani. Derap langkah menuju masjid yang kian ramai, serta intensitas bacaan Al-Qur'an yang meningkat, berpadu dengan jejak-jejak yang bergegas mencari takjil dan hidangan berbuka.
Ibadah dan perburuan takjil melebur dalam satu irama, sehingga sulit membedakan apakah keduanya bergerak atas dasar kesadaran menahan diri (pengendalian diri) atau justru menjadi dorongan hasrat yang saling menguatkan dalam kemelekatan dunia.
Ibadah yang meningkat tanpa kesadaran untuk menghamba kepada Ilahi berjalan beriringan dengan dorongan pemenuhan hasrat jasmani, sehingga keduanya menjadi panggung bagi hasrat duniawi yang tak kunjung reda. Ibadah ritual terjebak dalam harapan pujian, sementara gerak jasmani hanyut dalam arus nafsu hewani yang terus diperturutkan.
Jika ritme keduanya berjalan dalam arus pemenuhan hasrat duniawi, itu menandakan bahwa kita hanya berfokus pada gerak fisik semata. Kita tidak melakukan gerak apa pun yang bisa mengantarkan pada konektivitas jiwa untuk mencapai pencerahan spiritual. Di siang hari, kita menahan diri dari segala jenis hidangan yang membatalkan puasa, tetapi pikiran justru tersandera oleh daftar menu yang telah disusun rapi sejak waktu imsak sampai menjelang berbuka puasa. Ramadan pun ditampilkan sebagai panggung dualitas: menahan lapar di siang hari, tetapi merayakan limpahan hidangan di malamnya.
Tak heran jika dalam bulan suci ini kita mendapati orang-orang yang rajin beribadah, bahkan dengan intensitas ritual yang meningkat, tetapi tetap mudah tersulut amarah, kebencian, dan terjebak dalam permusuhan. Hal ini terjadi karena hasrat dan kemelekatan yang kuat pada dunia terus menyeret mereka untuk terus-menerus menuntut kepuasan tanpa akhir.
Karena itu, marilah kita merenungi kembali bahwa bulan suci Ramadan hadir untuk melatih diri agar mampu mengendalikan cangkang jasmani yang mengikat jiwa pada hasrat duniawi. Ramadan adalah bulan pembelajaran, bulan pengendalian diri, yang seharusnya meninggalkan jejak dalam kehidupan kita, tidak hanya di siang dan malam Ramadan, tetapi juga di bulan-bulan setelahnya.
Kita semestinya menyadari bahwa kita tidak hanya berada di bulan suci Ramadan setiap tahunnya, tetapi juga seharusnya mampu me-Ramadan-kan diri sepanjang hayat.