Dari Gelap Ke Cahaya
(Sebuah refleksi menghadapi tahun baru hijriah)
Oleh : Ilham Sopu
Bahasa yang cukup familier yang sering disampaikan oleh seorang muballig adalah min al dzulumati ila al nur, suatu terminologi yang ditujukan kepada Nabi Muhammad karena keberhasilan beliau membebaskan masyarakat makkah yang kedatangannya situasi makkah berada dalam situasi politeisme yang akut. Nabi lahir disuatu masyarakat yang dikenal sebagai masyrakat jahiliyah, masyarakat politeisme yang merupakan anti tesis dari monoteisme. Sebenarnya para elit qurais itu percaya kepada Tuhan, tapi mereka juga percaya kepada tuhan tuhan lain, jadi kepercayaan mereka berganda. Percaya kepada Allah, tapi caranya percaya yang salah. Itu juga yang banyak menimpa manusia di jaman modern ini atau disebut jahiliyah modern, jahiliyah itu akan tetap ada di setiap zaman bahkan mungkin lebih parah di banding dengan jahiliyah zaman nabi. Jahilyah itu adalah dhulumat dan kebenaran yang dibawa oleh nabi itulah nur.
Menarik karena dalam kajian kebahasaan disitu menggunakan kata dhulumat yang merupakan jamak dari dzalim, itu berarti bahwa kedzaliman itu banyak. Dan memang dalam realitasnya kedzaliman itu memang banyak. Dalam sejarah pada periode makkah, Nabi berada dalam posisi minoritas sedangkan kafir qurais dalam posisi mayoritas, betapa banyaknya kedzaliman yang meliputi masyarakat makkah pada waktu itu, dan itulah dimaksud dengan dzulumat. Tapi Nabi tetap berkomitmen bahwa kebenaran yang datangnya dari Tuhan tetap harus disampaikan kepada para elit kurais, tentu saja dengan pendekatan pendekatan yang humanis sebagai bentuk dari misi rahmatan li al alamin. Disamping Nabi aktif melakukan tugas untuk mengajak kepada kebenaran, juga aktif melakukan uzlah ke gua hira, untuk bermeditasi, mencas ruhaninya sebagai modal menghadapi masyarakat makkah yang sudah sangat melampaui batas, dekadensi moral, masyarakat yang jahil murakkab, masyarakat politeis. Nabi perlu selalu berkomunikasi dengan Tuhannya dengan memanfaatkan fasilitas gua hira sebagai modal untuk mendekatkan diri dengan Tuhan.
Kita bisa mengambil i'tibar dari pengalaman Nabi bergumul dengan masyarakat makkah yang kufur, materiliastik, hedonistik, otoriter, memaksakan kehendak, yang merasa benar sendiri, yang dzalim, dengan melakukan uzlah, kontemplasi diri,merenungi diri, mencari Tuhan dalam diri, guna memfilter terjangan berbagai kebiadan zaman yang sudah sangat sekuler, masyarakat hedonis, masyarakat jahiliyah modern yang bisa menjatuhkan setiap manusia kalau tidak punya pertahanan yang baik. Uzlah di jaman moderen ini bukan lagi kita akan masuk ke gua gua yang gelap, tetapi bagaimana kita sering sering menengok diri kita ke dalam,untuk bertahannus, tentang siapa diri kita, dari mana kita, hendak kemana kita, apa tujuan kita berada di dunia ini, apakah bekal kita sudah memadai untuk kembali kepada Tuhan. Kita perbaharui komitmen keberagamaan kita, dengan berpegang teguh terhadap ajaran ajaran agama yang sudah diturunkan Tuhan untuk kita.
Memang pada mulanya Islam ini datang dalam keadaan asing (gariban), karena masyarakat makkah pada waktu itu sudah terkoptasi dengan berbagai pelanggaran moral yang sudah akut, sehingga tidak mau menerima kebenaran kebenaran yang di bawa oleh Nabi. Jadi islam bagi mereka itu asing dan bertentangan dengan kebiasaan nenek moyang mereka. Hatinya tertutup karena sudah sangat banyak kedzaliman yang mereka perbuat. Dan Islam ini akan kembali menjadi asing (gariban). Ajaran ajaran Islam yang rahmatan lil alamin banyak yang mencoba menafsirkan secara dangkal, dan mencoba memberikan pemahaman sangat terbatas pada pemahaman teks terhadap ayat, sehingga membuat ajaran islam menjadi sangat kaku, padahal nabi pada zamannya sangat dinamis dan fleksibel dalam memberikan ungkapan ungkapan keagamaan terhadap para sahabatnya. Maka beruntunglah orang orang asing (al guraba), yaitu mereka yang tetap berkomitmen terhadap kebenaran kebenaran dimanapun dia berada. Salah satu arti hijrah itu adalah mempertahan komitmen kebenaran disaat banyaknya kebobrokan yang ditimbulkan dunia moderen saat ini.
Dalam satu ungkapan yang sering kita dengar setiap memasuki tahun baru adalah bahwa "Barang siapa hari ini lebih jelek dari pada hari kemarin, maka ia masuk kategori terlaknat, dan barang siapa yang hari ini, sama dengan hari kemarin maka ia masuk kategori tertipu, dan barang siapa yang hari ini lebih baik dari pada hari kemarin maka ia masuk kategori orang beruntung. Proses dari pada hijrah itu mesti merujuk ke "min dzulumati ila al nur" dari kebiadaban menuju keadaban, dari masyarakat jahiliyah menuju masyarakat madani atau masyarakat berkeadaban, sivil society. Kalau kita merujuk kepada ungkapan ini bahwa hijrah itu adalah perubahan kepada yang lebih baik. Tentu saja perubahan disini adalah perubahan yang holistik. Kita mesti menjadi umat yang terbaik yang pernah terukir dalam sejarah islam. Umat terdahulu adalah umat yang betul betul paripurna bukan saja unggul dalam segi pemikiran, mereka semuanya adalah mujtahid mujtahid yang sangat produktif melahirkan karya karya intelektual, mereka juga punya integritas moral yang kuat, punya akhlak yang agung, punya kemauan keras dalam memviralkan ajaran ajaran keislaman yang rahmatan lil alamin, dan tentu butuh kesabaran dalam menjalankan misi keagamaan karena banyaknya tantangan tantangan yang akan dilalui dalam menyampaikan kebenaran kebenaran agama sebagaimana Nabi diawal dakwahnya mengalami banyak kesulitan karena kuatnya pengaruh dzulumat, kedzaliman kedzaliman yang muncul setiap saat.
Demikian goresan goresan singkat, bagaimana hijrah bisa memberikan perubahan perubahan yang positif kearah yang lebih baik, dan bagaimana kehidupan ini lebih bermakna dan punya manfaat terhadap orang lain, itulah hakekat hijrah. (Bumi Palippis, Juli 2023)