Beragama Dalam Dimensi Keseimbangan

Burhanuddin Hamal (Penyuluh Agama Islam Fungsional KUA Kec. Tinambung Polewali Mandar)

Malam 11 Ramadhan merupakan kolaborasi terakhir antara Tim Pokjaluh KUA Kec. Tinambung dengan perwakilan para Santri salafiyah Parappe Kec. Campalagian (Kamis 21/3/2024). Di segmen Safari Ramadhan tepatnya Mesjid Addarkul Musyahadah Desa Tandung ini, terlihat kondisi jamaah cukup respek dengan pencerahan keagamaan bertema "Urgensi Keseimbangan Dalam Beragama".

AGAMA adalah keniscayaan yang sentralitas nilainya mutlak berlaku pada semua aspek kehidupan manusia. Defenisinya diambil dari bahasa Sansekerta yakni "A" berarti tidak dan "GAMA" berarti kacau. Penggabungan kedua suku kata tersebut mengedukasikan makna bahwa konsistensi terhadap penghayatan nilai-nilai beragama akan menghindarkan manusia dari ragam kekacauan hidup.

Agama tak bisa dibangun dengan hanya "memburu" hal-hal formilnya lalu membiarkan diri "lari" dari subtansi ajarannya. Tujuan beragama tidaklah sebatas memperbaiki hubungan kevertikalan manusia dengan Tuhan, melainkan agar antar manusia bahkan dengan unsur alam lainnya pun terbangun interaksi yang harmonis (capaian kemaslahatan bersama). Muatan ini tersirat pada QS. Al-Anbiya': 107. Karena itu, ruang dan fungsi agama tak mesti dipersempit dengan hanya melakoni kekhusyu'an ritualnya lalu mengabaikan nilai-nilai sosialnya di berbagai aspek kehidupan.

Terkait ini, legitimasi QS. Al-Ankabut: 45 juga menekankan bahwa dimensi sosial merupakan bagian tak terpisahkan dari kenyataan beragama. Tidakkah memang berpotensi betapa mungkinnya kita "merasa" sudah beragama ketika tak lagi pernah melewatkan rutinitas lima waktu, puasa, haji plus antusiasitas pada hal-hal seremonial ?
Akan tetapi, pada sisi yang juga signifikan, dimanakah cermin beragama ketika tak ada lagi kebenaran saat kita berbicara, tak ada tanggung-jawab saat kita berjanji dan tak ada kepercayaan saat kita diberi amanah ?. Bahkan, ketika "kedamaian" tak lagi menjadi orientasi sentral dari setiap gerak langkah (eksistensi) manusia maka dengan apa fungsi dan bukti beragama bisa diukur ?.

Itulah sebabnya, demi keutuhan nilai beragama maka QS. Ali Imran: 112 melansir pesan penting bahwa disamping visi dan misi beragama itu suci, juga muatannya mengajarkan urgensi "keseimbangan". Penerapan Iman dan Taqwa tak sekedar berkenaan dengan Ubudiyah Mahdhah melainkan juga mencakup seluruh sisi kehidupan manusia yang mensinergikan nilai-nilai kesalehan sosial.

Ketika muatan QS. Ad-Dzariyat: 56 memperjelas tujuan hidup manusia yang tak lain untuk mengabdi kepada Tuhan maka kontekstualnya relevan ketika Nabi menekankan bahwa "seluruh hamparan bumi Allah adalah Masjid". Ini menggambarkan betapa totalitas dari persoalan-persoalan hidup dan kemanusiaan (apapun itu) merupakan wilayah yang tak berbatas dari konsekuensi penjabaran sujud-sujud lima waktu dan keniscayaan ritualitas lainnya.

Dengan menyimak pesan utama dan yang pertama disampaikan Rasul kepada salah seorang sahabat yang baru masuk Islam untuk menjauhi kebohongan, itu artinya indikator kemusliman tak terlepas dari jaminan kebenaran saat kita berbicara, setia menepati janji dan amanah saat mengemban kepercayaan. Jika ketiga hal tersebut tak mampu dijaga dengan baik maka "bumerang" dan ragam kemudharatan sosial akan menjadi akibatnya (muatan QS. Ar-Rum: 41).

Pada akhirnya, introspeksi diri terkait moralitas beragama dari waktu ke waktu mesti dilakukan seobyektif-mungkin. Filosofi "kemestian" ini sejalan ketika Sayyidina Umar Bin Khattab (Khalifah kedua) berpesan "hisablah dirimu sebelum sampai saatnya Tuhan yang akan melakukannya terhadap dirimu".....

Ushikum wanafsi bitaqwallah, Wallahu a'lam bisshawab.


Opini LAINNYA