Belajar Kepada Kolumnis Handal

Oleh : Ilham Sopu

Di tahun 90an waktu masih aktif kuliah di Makassar, saya sangat aktif membaca koran, tiap hari saya selalu menyempatkan diri mengunjungi bagian humas kampus, ada beberapa koran yang disiapkan diruang tamu, diantaranya harian kompas, republika, harian pelita, harian fajar dan tabloid kampus. Bagian yang sangat saya senangi ketika membaca koran adalah opini, artikel dan kolom-kolom yang biasanya ditempatkan halaman pertama. Semua koran punya kolom dengan memberikan nama atau ciri khas dari masing-masing koran.

Salah satu koran lokal yang sudah bertaraf nasional adalah harian fajar, disamping menyuguhkan berita-berita yang terbaru, juga menampilkan berbagai opini-opini yang ditulis oleh berbagai pakar atau penulis dari berbagai perguruan tinggi di Makassar pada waktu itu, baik dari Unhas, Ikip (UNM sekarang), UMI, maupun dari IAIN Alauddin (sekarang UIN Alauddin). Kolom-kolom yang ditampilkan harian fajar punya nilai kualitas karena ditulis oleh para penulis handal. Para penulis yang banyak menghiasi harian fajar waktu itu  khususnya tulisan kolom diantaranya Prof Anwar Arifin, Prof Ahmad Ali, Prof Syuhudi Ismail, Arsyal Al Habsi, Ishak ngeljaratan, Ir Fuad Rumi, Nur Abdurrahman dan penulis-penulis lainnya.

Membaca tulisan-tulisan atau opini-opini mereka adalah suatu kenikmatan tersendiri, karena menambah wawasan keilmuan dari berbagai aspek, sesuai dengan keahlian masing-masing penulis dengan analisa yang tajam dan kritis, ada kesegaran tersendiri setelah membaca tulisan-tulisan yang berbobot dari mereka yang punya keilmuan yang tinggi dan gaya penulisan yang sangat menarik. Para penulis diatas punya daya tarik tersendiri ketika membaca tulisan-tulisan mereka disamping analisanya yang sangat mendalam, juga ciri khas tersendiri yang ditampilkannya, seperti gaya bahasa dan alur bercerita dari penulis sangat menarik dan tidak membosankan.

Metode penulisan yang disajikan ada yang agak serius dan ada juga yang agak santai tanpa meninggalkan nilai tulisan atau bobot tulisan yang disajikan, katakanlah misalnya Prof Ahmad Ali, seorang ahli hukum pidana Unhas yang juga mantan dekan fakultas hukum Unhas, ketika membaca tulisan-tulisannya, itu agak serius, mungkin karena latar belakang hukum, dan menariknya selalu dikaitkan dengan realitas kehidupan sehari-hari yang berkembang di masyarakat Indonesia, Prof Ahmad Ali dikenal sangat tajam analisa-analisanya  atau pandangan-pandangan hukumnya dan sangat tegas, dia juga sangat mengidolakan Prof Baharuddin lopa, dia banyak mengutip sepak terjang Barlop dalam berbagai tulisannya.

Prof Ahmad Ali dikenal punya simbol dalam pandangan hukumnya "sapu kotor", simbol ini sangat didengung-dengungkan Prof Ali dalam berbagai seminar yang ikutinya maupun di tulisan-tulisannya, arti dari sapu kotor adalah tidak mungkin untuk membersihkan suatu lantai kita memakai sapu yang kotor, lantai itu akan tetap kotor. Dalam membersihkan Indonesia dalam berbagai kasus korupsi itu tidaklah mungkin berhasil kalau yang menangani hukum adalah orang-orang yang bermasalah dan ini sangat sesuai dengan kondisi penegakkan hukum di Indonesia pada waktu itu sampai hari ini. Itulah sebabnya Prof Ahmad Ali, selalu mengambil atau merujuk prototipe Barlop sebagai orang bersih, dan punya keinginan yang kuat untuk menegakkan hukum, siapapun yang bersalah. 

Ada lagi penulis yang agak santai tapi serius dalam berbagai tulisannya, para pembaca harian fajar di era 90 an sampai awal tahun 2000 an, khususnya kolom di harian fajar adalah Ir Fuad Rumi, dia menamai kolomnya di harian fajar yakni "Gelitik", dilihat dari judul kolomnya, ketika kita membaca tulisan-tulisannya di kolom tersebut kita akan tergelitik ketika membacanya. Fuad Rumi dikenal penulis yang fleksibel dalam analisa-analisa tulisannya, seorang insinyur tapi pengetahuan atau wawasan keagamaannya sangat luas, dalam memberikan pemahaman keagamaan sangat multi interpretasi atau memberikan makna-makna baru dalam suatu teks keagamaan. 

Disamping sangat produktif dalam menuangkan tulisan-tulisannya, Fuad Rumi juga juga sangat aktif memberikan kajian-kajian keagamaan dalam segmen masyarakat di kota Makassar, dia juga seorang da'i yang banyak mengisi mimbar-mimbar Jumat. Dalam berbagai kesempatan saya banyak mengikuti kajian-kajian keagamaannya dan ceramah-ceramahnya di mesjid kampus UMI Makassar.

Lain lagi dengan Ishak ngeljaratan, salah dosen fakultas sastra Unhas, seorang sastrawan dan budayawan, ditahun 90 an dan 2000 an, namanya sangat familier di kampus maupun kajian-kajian budaya diberbagai tempat di kota Makassar, penampilannya sangat sederhana, yang biasanya melekat dalam dunia seni dan sastra, konsentrasi akademiknya dibidang sastra, tapi diberbagai media khususnya di harian fajar, dia lebih banyak menulis tentang tentang kebangsaan dan visi keindonesiaan. Kolomnya diharian fajar diberi judul "Indonesia kita", sesuai dengan judul kolomnya, dia lebih banyak menulis tentang wawasan keindonesiaan dalam konteks budaya-budaya yang banyak berkembang di Indonesia.

Itulah tiga penulis harian fajar  di era 90 an yang sempat penulis ulas secara singkat, masih banyak penulis yang belum sempat diulas di kolom ini. Ini bisa menjadi pembelajaran bagi kita semua, yang hidup di era milineal ini, untuk mencontoh semangat dalam memaknai kehidupan ini khususnya dalam dunia kepenulisan, kita manfaatkan sebagian waktu kita untuk membaca tulisan-tulisan yang bermutu dan dapat menambah wawasan keilmuan kita, disamping belajar wawasan dalam berbagai konsentrasi keilmuan, juga kita bisa belajar dari cara-cara atau metode dalam menuangkan gagasan dalam bentu tulisan.

Alfatihah untuk ketiga penulis diatas.

(Bumi Pambusuang, 21 Mei 2023)


Opini LAINNYA