ASN Tak Netral, Hambat Pelayanan Publik
Bagian Kedua
Ketentuan hukum sebagai dasar penegakan disiplin bagi ASN yang tidak netral, seperti UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN dan PP Nomor 49 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil (PNS). Namun seringkali sejumlah pihak menyoroti netralitas ASN. Sorotan ini bukanlah tanpa alasan. ASN sebagai abdi negara dan abdi masyarakat, seharusnya adalah pelayanan publik yang tidak terikat pada kepentingan politik praktis maupun elite politik. Proses pelayanan publik yang menjadi tugas dan fungsi sebuah lembaga akan terganggu, apabila aparaturnya yang tidak netral. Dan tentunya akan berdampak pada merosotnya kepercayaan publik kepada pemerintah.
Netralitas ASN menjadi sektor yang sangat penting, karena berkaitan dengan pelayanan terhadap publik. ASN harus netral untuk memastikan calon dan partai politik memiliki kesempatan yang sama, mencegah intervensi yang tak adil, serta menjaga pemilihan yang setara bagi semua peserta. Selain itu, menjaga kepercayaan publik agar mencegah spekulasi bahwa pemilihan dipengaruhi oleh pihak tertentu
Bawaslu RI pada 22 September 2023 telah merilis daerah-daerah yang netralitas ASN masuk kategori kerawanan tinggi dalam pemilu serentak Tahun 2024. Untuk tingkat provinsi, ada sepuluh provinsi yang kategori rawan tinggi yakni : Maluku Utara (Malut), Sulawesi Utara (Sulut), Banten, Sulawesi Selatan (Sulsel), Nusa Tenggara Timur (NTT), Kalimantan Timur (Kaltim), Jawa Barat, Sumatera Barat (Sumbar), Gorontalo, dan Lampung. Sedangkan pada tingkat Kabupaten/Kota terdapat 20 Kabupaten/Kota. Kabupaten Mamuju masuk 8 besar kategori kerawanan tinggi dengan presentase mencapai 40,38 Persen.
Kerawanan ini tidak lepas dari adanya tekanan dari pimpinan dalam pemerintahan. Pelanggaran netralitas ASN yang kerap terjadi antara lain mempromosikan calon tertentu, pernyataan dukungan secara terbuka di media sosial dan juga media lainnya. ASN yang menggunakan fasilitas negara untuk mendukung petahana, teridentifikasi dukungan dalam bentuk grup WhatsApp, dan terlibat secara aktif maupun pasif dalam kampanye calon.
Situasi politik bisa saja memanas, Namun ASN harus tetap pada kedudukan profesional dan tidak memihak pada kontestan politik yang akan bertanding dalam pemilu dan pemilihan. Meskipun sejatinya ASN memang memiliki hak pilih dalam setiap pesta demokrasi yang berlangsung.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kementerian Dalam Negeri Suhajar Diantoro, pada Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Pencegahan Pelanggaran Netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) Pemilu Serentak Tahun 2024 yang dilaksanakan Bawaslu RI di Batam. Suhajar menegaskan, ASN menjadi sektor yang sangat penting dalam Pemilu 2024, karena berkaitan dengan pelayanan terhadap publik. ASN harus netral untuk menghindari penyalahgunaan sumber daya dengan tujuan politik, menjaga integritas kompetisi politik, dan melindungi kepentingan publik. Netralitas ASN juga menjadi simbol pemberian pelayanan yang adil demi menjaga pelayanan publik tidak dipengaruhi oleh pertimbangan politik dan memastikan kebijakan pemerintah tetap berfokus pada kepentingan umum.
Abdullah Azwar Anas, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB), mengingatkan, bahwa ASN perlu mencermati potensi gangguan netralitas yang bisa terjadi dalam setiap tahapan Pemilu dan Pemilihan. Potensi gangguan netralitas dapat terjadi sebelum pelaksanaan tahapan pemilu dan Pemilihan, tahap pendaftaran bakal calon anggota legislatif dan kepala daerah, tahap kampanye, tahap pemungutan dan penghitungan suara, tahap penetapan calon terpilih anggota legislatif dan kepala daerah, maupun pada tahap setelah penetapan anggota legislatif dan kepala daerah yang terpilih.
Ketidaknetralan ASN, akan berdampak pada terjadinya diskriminasi layanan, munculnya kesenjangan dalam lingkungan kerja yang pada akhirnya akan menimbulkan adanya konflik kepentingan dan menjadi lembaga tersebut tidak profesional dalam memberikan pelayanan publik.