"Mua' lahiri ana' tommuane tallemi tu'u Tomala NAMIEWA...tettopa Mua' lahiri ana' towaine moppo'mi tu'u Tomala NAMIPASIRI"
(saat lahir anak laki-laki mungkin saja menjadi penantang bagi keberadaan orang tuanya kelak, dan jika dia perempuan boleh jadi sosoknya yang akan mempermalukan keluarga). Demikian sepintas pernyataan lokal yang meski kedengarannya kontras namun muatan filosofinya patut direnungkan.
Ilustrasi tersebut tentu saja tidak akan pernah menjadi harapan di kalangan orang tua terkait pembayangan buruknya reputasi generasi dari waktu ke waktu.
Pernyataan tersebut tak lebih hanyalah pesan pengingat atau ungkapan "kewaspadaan" yang sedini mungkin diisyaratkan pada kalangan orang tua bahwa kelahiran setiap generasi pada hakikatnya adalah AMANAH TUHAN yang mesti "dijaga" dengan baik.
Agama memandang bahwa para generasi bukanlah sekedar timangan buah hati atau mutiara yang indah dipandang mata. Lebih dari itu, keberadaan mereka sesungguhnya merupakan proyek kehidupan berskala besar yang secara vertikal dan horisontal menuntut pertanggung-jawaban para orang tua terkait kesinambungan eksistensinya.
Tak lihai "mendidiknya", bukan tak mungkin suatu saat berpotensi menjadi "senjata makan tuan" atau menjadi sebab runtuhnya martabat orang tua dan keluarga.
Sebaliknya, implementasi tanggung-jawab dan kepiawaian para orang tua dalam merawat generasinya tidak saja akan menjadikan mereka "cahaya" bagi kehidupan, tetapi produktifitasnya juga menjadi asset abadi yang di Akhirat kelak diperkenankan menyematkan mahkota kemuliaan di kepala kedua orang tuanya.
Motivasi terkait konsekuensi capaian kemuliaan para orang tua tersebut, disamping menjadi harapan berdimensi Ukhrawi juga pasti membawa keberuntungan Duniawi.
Itulah sebabnya, sebagai renungan perjuangan atas tantangan ini maka Nabi mengingatkan didalam Haditsnya :
كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ
"Setiap anak yang lahir dalam keadaan fitrah atau suci. Kedua orang tuanya-lah yang mungkin menjadikannya Yahudi, Majusi atau Nasrani" (HR. Bukhari dan Muslim).
Tentu saja kemudian, kontekstualitas "orang tua" dalam Hadits di atas tidak saja mengacu pada posisi ayah dan ibu biologis yang menjadi perantara kelahiran setiap generasi. Akan tetapi, makna akumulasi dari kategori tersebut meliputi pranata rumah tangga (pendidikan di internal keluarga), lingkungan pergaulan sosial (interaksi kemasyarakatan) serta corak pendidikan (formal maupun informal) yang pengaruhnya sangat menentukan bagi kelangsungan eksistensi para generasi.
Karena itu, menjadi hal penting bagi kita semua untuk kembali "bertafakkur" dan belajar menjadi orang tua yang baik, lihai dan bijaksana serta punya tanggung-jawab terhadap perkembangan kepribadian para generasi.
Di saat yang sama, kualitas dan kompetensi para generasi juga diharapkan memberi manfaat positif bagi capaian masa depan Bangsa dan Agama sekaligus pewaris kehormatan keluarga (legitimasi muatan QS. An-Nisa': 9, QS. Al-Hasyr: 18, QS. At-Tahrim: 6).
Ushini waiyyakum bitaqwallah, Wallahu a'lam bisshawab.