Tidak ada yang lebih sunyi daripada rintihan bumi yang terluka. Ia tidak bersuara, tidak menangis, dan tidak melawan. Tapi dari pori-pori tanah yang merekah, dari sungai yang menghitam, dari udara yang semakin sesak, kita tahu: ‘ada yang tak lagi baik-baik saja dengan rumah kita bersama ini.’
Kita hidup di negeri yang dilimpahi karunia—hutan tropis yang luas, air yang mengalir deras dari pegunungan, tanah yang subur, dan perut bumi yang menyimpan kekayaan mineral tak terhingga. Tapi sayangnya, karunia ini kerap dikelola dengan keserakahan, bukan kebijaksanaan. Pertambangan, yang sejatinya bisa menjadi anugerah dan penopang ekonomi bangsa, sering kali justru menjelma menjadi sumber petaka yang mengoyak kehidupan sosial, menghancurkan keseimbangan ekologis, dan merusak martabat kemanusiaan.
Bila kita membuka mata dengan jujur, kita akan melihat banyak lahan gundul bekas tambang yang dibiarkan tanpa reklamasi. Lubang-lubang besar menganga seperti luka yang tak pernah diobati. Sungai-sungai yang dulunya menjadi sumber kehidupan warga kini tercemar logam berat. Bahkan, tak sedikit masyarakat adat yang terusir dari tanah leluhur mereka karena tambang datang mengklaim atas nama pembangunan.
Yang lebih menyayat hati, kerusakan itu seringkali dibayar dengan harga yang tak terlihat langsung oleh mata: hilangnya sumber air bersih, memburuknya kualitas kesehatan masyarakat, hingga trauma psikologis bagi anak-anak yang kehilangan ruang bermain dan ketenangan lingkungan.
Apakah ini yang kita wariskan untuk generasi berikutnya? Sebuah negeri yang pincang karena tanahnya tak lagi sanggup menopang kehidupan?
Dalam pusaran pembangunan yang kerap hanya berpihak pada angka dan grafik, kita sering lupa bahwa bumi bukan sekadar objek eksploitasi. Ia adalah ciptaan Allah yang agung, tempat manusia ditugaskan bukan untuk mengeksploitasi semaunya, tapi untuk memakmurkan dan menjaganya dengan penuh amanah.
Di sinilah kita perlu menyandingkan kembali ilmu dan iman, data dan nurani, pembangunan dan keberkahan. Karena krisis lingkungan bukan hanya isu teknis atau politik, melainkan isu moral dan spiritual. Dan dalam perspektif agama, merusak alam bukan sekadar pelanggaran hukum negara, melainkan pelanggaran terhadap titah Ilahi.
Fakta dan Realita: Tambang dan Krisis Lingkungan
Indonesia dikenal sebagai zamrud khatulistiwa, kaya akan sumber daya tambang yang tersebar dari ujung Sumatera hingga Papua. Emas, batu bara, nikel, tembaga—semuanya tersimpan di perut bumi Nusantara. Tapi di balik kilau kekayaan itu, ada luka-luka menganga yang tak kunjung sembuh.
Data dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menyebutkan bahwa lebih dari 8.500 izin tambang tersebar di Indonesia hingga tahun 2023. Sayangnya, sebagian besar justru berada di wilayah-wilayah sensitif: kawasan hutan lindung, pesisir, dan dekat pemukiman masyarakat adat. Akibatnya, banyak ekosistem rusak, mata air mengering, dan tanah kehilangan kesuburannya.
Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) melaporkan bahwa lubang bekas tambang di Kalimantan Timur telah menelan korban: puluhan anak tenggelam dalam lubang-lubang maut yang dibiarkan terbuka, tanpa tanggung jawab atau penyesalan. Di balik dinding perusahaan tambang, derita itu sering kali hanya dianggap sebagai “resiko operasional”. Tapi bagi keluarga yang kehilangan anak, itu adalah duka yang tak ternilai.
Tambang, jika tak dikelola dengan akhlak dan tanggung jawab, tidak lain hanyalah bentuk kezaliman yang dibungkus kepentingan ekonomi. Ia merampas hutan yang menjadi tempat bernaung satwa dan manusia, mencemari sungai yang menjadi sumber kehidupan, dan menggusur masyarakat yang telah puluhan tahun hidup berdampingan dengan alam.
Lalu, bagaimana mungkin kita menyebut itu sebagai “kemajuan”?
Mari kita tengok Samarinda, ibu kota Kalimantan Timur. Kota ini dulunya dikenal sebagai wilayah subur dengan banyak sungai yang jernih. Namun kini, lebih dari 71% wilayah daratannya telah dikapling untuk izin tambang batu bara. Sungai-sungainya tercemar, lubang-lubang tambang tak direklamasi, dan dalam satu dekade terakhir, lebih dari 40 anak dilaporkan tewas tenggelam di lubang tambang yang dibiarkan terbuka begitu saja.
Ironisnya, hasil tambang yang konon dijanjikan untuk kesejahteraan rakyat, justru tidak banyak dinikmati oleh masyarakat sekitar. Yang tertinggal hanyalah debu, air keruh, dan trauma ekologis yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Perspektif Agama: Tambang dan Amanah Langit yang Terkhianati
Islam memandang alam bukan sebagai objek yang bebas dieksploitasi, tetapi sebagai amanah yang harus dikelola dengan adil dan penuh tanggung jawab. Manusia diciptakan bukan untuk menguasai bumi secara sewenang-wenang, tetapi sebagai khalifah (wakil) Allah di muka bumi, yang tugas utamanya adalah menjaga keseimbangan dan keharmonisan ciptaan-Nya.
Allah SWT berfirman:
وَاِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلٰۤىِٕكَةِ اِنِّيْ جَاعِلٌ فِى الْاَرْضِ خَلِيْفَةً ۗ
"Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi."
Ayat ini menegaskan bahwa keberadaan manusia di bumi bukan sebagai pemilik mutlak, melainkan sebagai pemikul amanah besar. Sebagai khalifah, manusia diberi akal dan kebebasan, tetapi juga dibebani tanggung jawab untuk tidak berbuat kerusakan.
Lebih jauh, Allah SWT secara eksplisit melarang kerusakan lingkungan dalam banyak ayat, salah satunya:
وَلَا تُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِ بَعْدَ اِصْلَاحِهَا وَادْعُوْهُ خَوْفًا وَّطَمَعًاۗ اِنَّ رَحْمَتَ اللّٰهِ قَرِيْبٌ مِّنَ الْمُحْسِنِيْنَ
“Janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah diatur dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat dengan orang-orang yang berbuat baik.”
Kerusakan (fasad) dalam ayat ini dapat dimaknai luas, termasuk pencemaran air, perusakan hutan, penggundulan bukit, dan eksploitasi tambang secara brutal yang menyebabkan kerusakan ekologis dan penderitaan sosial.
Ulama tafsir terkemuka, Imam Al-Qurthubi, dalam tafsirnya menjelaskan bahwa “larangan membuat kerusakan di muka bumi mencakup segala bentuk kezaliman terhadap makhluk Allah, termasuk mengganggu tatanan alam yang sudah ditetapkan-Nya.” Beliau menekankan bahwa alam memiliki keseimbangan yang jika dirusak akan membawa kerusakan sosial dan spiritual bagi umat manusia.
Rasulullah ﷺ pun mengajarkan hubungan harmonis antara manusia dan alam. Dalam banyak hadis, beliau mencontohkan sikap penuh kasih terhadap lingkungan. Beliau bersabda:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ حُبْشِيٍّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ قَطَعَ سِدْرَةً صَوَّبَ اللَّهُ رَأْسَهُ فِي النَّارِ
“Dari Abdullah bin Hubsyi ia berkata, “Rasulullah ﷺ bersabda, “Barang siapa menebang pohon bidara maka Allah akan membenamkan kepalanya dalam api neraka.” (HR. Abu Daud)
Hadits ini terkait tentang kecaman Rasulullah ﷺ terhadap orang-orang yang menebang pohon yang biasa digunakan oleh Manusia berteduh. Pohon bidara adalah pohon dipdang pasir yang biasa dijadikan tempat berteduh oleh manusia.
Hal ini sebagaimana penjelasan oelh Imam Abu Daud yang mengatakan,
سُئِلَ أَبُو دَاوُد عَنْ مَعْنَى هَذَا الْحَدِيثِ فَقَالَ هَذَا الْحَدِيثُ مُخْتَصَرٌ يَعْنِي مَنْ قَطَعَ سِدْرَةً فِي فَلَاةٍ يَسْتَظِلُّ بِهَا ابْنُ السَّبِيلِ وَالْبَهَائِمُ عَبَثًا وَظُلْمًا بِغَيْرِ حَقٍّ يَكُونُ لَهُ فِيهَا صَوَّبَ اللَّهُ رَأْسَهُ فِي النَّارِ
“Imam Abu Daud ditanya tentang hadits tersebut, lalu ia menjawab, “Secara ringkas, makna hadits ini adalah bahwa barang siapa menebang pohon bidara di padang bidara dengan sia-sia dan zhalim; padahal itu adalah tempat untuk berteduh para musafir dan hewan-hewan ternak, maka Allah akan membenamkan kepalanya di neraka.”
Hadis diatas menunjukkan bahwa perusakan lingkungan bukan hanya kesalahan moral, tetapi juga dosa besar yang bisa berujung pada hukuman diakhirat. Maka, ketika hutan ditebang demi membuka jalan tambang tanpa memperhatikan keseimbangan lingkungan dan keselamatan masyarakat, itu bukan hanya pelanggaran undang-undang, tetapi juga pengkhianatan terhadap amanah Tuhan.
Hadis lain dari Rasulullah juga mengisyaratkan prinsip konservasi yang luar biasa mendalam:
إِنْ قَامَتِ السَّاعَةُ وَفِي يَدِ أَحَدِكُمْ فَسِيلَةٌ، فَإِنِ اسْتَطَاعَ أَنْ لَا تَقُومَ حَتَّى يَغْرِسَهَا فَلْيَغْرِسْهَا
"Jika hari kiamat akan tiba, sedangkan di tangan salah seorang di antara kalian ada bibit (tanaman), maka jika ia mampu menanamnya sebelum hari kiamat terjadi, hendaklah ia menanamnya." (HR. Ahmad dan Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad)
Ini bukan hanya anjuran untuk menanam pohon, tapi gambaran filosofis bahwa merawat bumi adalah tugas mulia, bahkan di tengah kehancuran sekalipun.
Krisi lingkungan hidup yang terjadi saat ini memang sangat erat kaitannya dengan kejahilan tangan-tangan manusia yang tamak. Hal ini sejalan dengan yang disampaikan oleh seorang Pakar lingkungan hidup dan etika Islam, Prof. Dr. Fazlun Khalid, pendiri Islamic Foundation for Ecology and Environmental Sciences, menyatakan:
“Krisis ekologi yang terjadi hari ini adalah konsekuensi dari manusia yang kehilangan kesadaran spiritual terhadap alam. Islam menawarkan solusi dengan konsep tawazun (keseimbangan), maslahah (kemaslahatan), dan amanah.”
Konsep maslahah (kemaslahatan umum) dalam Maqashid al-Syariah (tujuan-tujuan syariat Islam) menempatkan perlindungan lingkungan sebagai salah satu aspek perlindungan jiwa (hifzh al-nafs), keturunan (hifzh al-nasl), dan harta (hifzh al-mal). Artinya, kerusakan lingkungan akibat tambang yang merampas air bersih, menghancurkan mata pencaharian, memantik krisis kesehatan dan menciptakan kemiskinan struktural, jelas bertentangan dengan maqashid syariah.
Sementara itu, KH. Sahal Mahfudz, seorang ulama besar dan mantan Rais ‘Aam PBNU, dalam banyak ceramahnya menegaskan:
“Eksploitasi alam secara berlebihan tanpa memperhatikan dampak sosial dan ekologisnya adalah bentuk istibdad fil ardh (kesewenang-wenangan di bumi) yang dilarang keras dalam Islam.”
Ulama Indonesia lainnya, seperti KH. Ali Yafie, dalam bukunya "Merintis Fiqh Lingkungan" juga menekankan pentingnya fiqh bi’ah (fikih lingkungan) dalam pembangunan berkelanjutan, yang tidak hanya berdasarkan hukum negara tetapi juga pada pertimbangan moral, spiritual, dan maslahat jangka panjang.
Dengan demikian, tambang dalam Islam bukan hal yang terlarang, tetapi harus dikelola dengan prinsip amanah, keadilan, keberlanjutan (istidamah), dan maslahat. Negara atau perusahaan yang mengelola sumber daya alam harus menjadikan prinsip-prinsip ini sebagai pondasi, bukan semata mengejar keuntungan ekonomi.
Jika tambang merusak hutan dan air, memiskinkan rakyat, memicu konflik, menciptakan krisik kesehatan dan meninggalkan luka ekologis, maka keberadaannya telah keluar dari koridor syariah. Ia bukan lagi rahmat, tapi menjadi bentuk ketidakadilan yang nyata.
Sebaliknya, jika dikelola dengan tanggung jawab, memperhatikan aspek sosial dan lingkungan, serta memberdayakan masyarakat sekitar, maka tambang bisa menjadi bagian dari pembangunan yang berkeadilan—yang selaras dengan nilai-nilai Islam.
Refleksi: Saatnya Kembali ke Kesadaran Ekologis
Sudah terlalu lama kita memaknai pembangunan hanya dalam kerangka angka—pertumbuhan ekonomi, investasi, dan ekspor. Sayangnya, dalam perhitungan itu, yang sering terlupa adalah biaya ekologis yang tidak kasat mata: hutan yang hilang, sungai yang mati, tanah yang tak lagi subur, dan udara yang semakin beracun. Lebih menyedihkan lagi, mereka yang paling terdampak sering kali adalah masyarakat kecil—petani, nelayan, dan anak-anak di desa-desa yang terletak di sekitar tambang.
Sudah saatnya kita meninjau ulang cara pandang kita terhadap alam dan sumber daya. Kita bukan pemilik bumi, hanya penumpang sementara di atasnya. Kekuasaan atas tanah, air, udara, dan mineral bukan hak mutlak manusia, melainkan titipan yang harus dipertanggungjawabkan, bukan hanya di hadapan masyarakat, tapi juga di hadapan Allah, Sang Pencipta.
Dalam logika Islam, segala sesuatu yang merusak keseimbangan adalah perbuatan yang tercela. Tidak ada pembangunan yang sah jika mengorbankan hak orang lain, terlebih lagi hak makhluk lain yang tidak bisa bersuara: pohon-pohon yang tumbang, sungai yang mengering, dan satwa yang kehilangan habitat. Itulah sebabnya, Rasulullah ﷺ melarang keras merusak pohon bahkan saat perang (HR. Abu Dawud), dan memberikan pahala besar hanya karena menyingkirkan duri dari jalan (HR. Bukhari-Muslim).
Jika hal sekecil itu dianggap sebagai bentuk kebaikan yang berpahala, maka betapa besar dosanya merusak ekosistem hanya demi kepentingan sesaat?
Dalam Maqashid Syariah, lima tujuan utama syariat Islam—menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta—tidak bisa tegak tanpa lingkungan yang sehat. Tidak mungkin jiwa bisa dijaga jika air tercemar dan udara penuh polusi. Tidak mungkin akal berkembang jika anak-anak tumbuh dalam lingkungan yang rusak. Dan tidak mungkin harta bisa halal jika diperoleh dengan cara merusak bumi dan menzalimi masyarakat sekitar.
Oleh karena itu, kesadaran ekologis bukan sekadar isu modern atau tren global. Ia adalah bagian dari ketakwaan. Menjaga lingkungan adalah wujud cinta kita pada ciptaan Allah, dan itu sama halnya dengan mencintai Sang Pencipta.
Kita perlu menggeser paradigma: dari sekadar eksploitasi menuju konservasi, dari kepemilikan menuju amanah, dari keserakahan menuju keberkahan. Kita harus kembali meyakini bahwa bumi ini bukan tempat untuk meraup sebanyak-banyaknya, tetapi ladang amal untuk meninggalkan sebanyak-banyaknya kebaikan.
Apa artinya membangun gedung tinggi dan kota megah, jika anak cucu kita harus tumbuh dalam derita ekologi? Apa artinya keuntungan sesaat, jika meninggalkan generasi yang kehilangan akses terhadap air bersih, udara segar, dan makanan sehat?
Mari kita jaga bumi, bukan karena kita takut akan bencana, tapi karena kita cinta pada kehidupan. Karena kita ingin mewariskan tanah yang layak diinjak, air yang layak diminum, dan udara yang layak dihirup oleh anak-anak kita kelak.
Jika para penyuluh, ulama, pemerintah, dan rakyat bersatu menjaga amanah ini, insya Allah bumi akan kembali tersenyum. Dan saat bumi tersenyum, keberkahan akan turun bukan hanya dari langit, tapi juga tumbuh dari tanah yang kita jaga dengan cinta dan tanggung jawab.
Bumi tak pernah meminta apa-apa, namun ia selalu memberi. Ia tidak bisa berteriak, tapi ia merekam setiap luka yang kita torehkan. Dan pada saatnya, luka itu akan kembali dalam bentuk bencana, kesulitan, dan kehilangan.
Sudah saatnya semua pihak—pemerintah, pelaku industri, tokoh agama, dan masyarakat—berdiri bersama untuk menyuarakan tanggung jawab ekologis. Pertambangan yang beretika dan berkelanjutan bukan hanya mungkin, tetapi wajib diwujudkan.
Karena kelestarian bumi bukan hanya urusan lingkungan, tapi juga urusan iman. Menjaga bumi adalah bagian dari ibadah. Dan merusaknya, adalah bentuk pembangkangan terhadap perintah Tuhan.
Mari jaga bumi dengan nurani. Jangan tunggu hingga ia lelah dan berhenti memberi.
Wallahua’lam.