Sikap Wara' yang Tersisih di Era Monetisasi Demi Stabilitas Rekening

Oleh : Hamzah (Guru MA Nuhiyah Pambusuang)

Dulu, kita tumbuh dengan nasihat sederhana namun dalam maknanya: "Kalau mau makan, pastikan dari yang halal, Nak." Petuah itu bukan hanya sekadar pesan orang tua, tapi semacam pagar tak terlihat yang menjaga manusia agar tidak sembarangan melangkah dalam urusan mencari nafkah.

Tapi hari ini, pagar itu sudah banyak yang lapuk. Bahkan ada yang sengaja mencabutnya sendiri karena dianggap menghalangi pemandangan: pemandangan popularitas, cuan, dan sorotan kamera. Wara', sikap hati-hati dalam mencari rezeki, kini seperti lembaran usang kitab lama yang tersimpan dalam laci, dibuka hanya kalau perlu ilustrasi di forum kajian atau sekadar mengisi mimbar masjid.

Kita hidup di zaman di mana konten lebih penting daripada konteks. Viral lebih dipuja daripada jujur. Asal menghibur, semua jadi maklum. Asal menghasilkan, semua jadi halal. Ketika semua orang berlomba-lomba menjadi konten kreator, seolah dunia ini adalah panggung raksasa dan setiap manusia wajib punya kanal untuk mengais "berkah" dari algoritma. Sayangnya, kata "berkah" itu pun kini mengalami penyusutan makna. Berkah bukan lagi tentang ketenangan batin dan rezeki yang membawa kebaikan, tapi soal view, engagement rate, dan tentu saja: uang. Hanya uang tak peduli aib dan kekurangan orang lain ikut tersorot di kamera kita, yang penting menghibur. Dan ketika uang menjadi satu-satunya filter kebaikan, maka jangan heran kalau halal-haram tinggal jadi pajangan status di akun medsos: “Insya Allah halal.”

Sekarang, bicara soal kehati-hatian dalam mencari nafkah bisa dianggap musuh publik. "sok suci dan gila urusan" . Yang satu menimpali. "Itu cuma orang iri," sambung yang lain. Lebih ekstrem, ada yang menyebutnya "orang kolot yang tidak mengerti dunia digital."

Memang, zaman telah berubah. Tapi apakah semua perubahan itu harus kita telan tanpa dikunyah dulu? Sama seperti minum kopi sachet yang tak jelas takarannya, lalu heran kenapa lambung jadi rusak. Masyarakat hari ini seperti itu: meminum segala yang disuguhkan media sosial tanpa saring, lalu protes ketika hidup kehilangan arah dan mulai gelisah batinnya.

Yang lebih menyedihkan adalah ketika ajaran agama hanya menjadi properti eksklusif. Ia hadir di forum resmi, dalam mimbar, dalam khutbah, dalam kajian, tapi jarang sekali menjadi kompas sehari-hari. Agama jadi semacam dekorasi spiritual yang hanya dipakai saat momen tertentu: ketika sakit, ketika gagal, atau ketika butuh nasihat untuk orang lain. Sementara dalam urusan mencari uang, agama diminta duduk manis di pojok ruangan, jangan terlalu banyak ikut campur. "Ini dunia kerja, bro. Jangan bawa-bawa agama ke sini." Ironi macam apa ini? Agama yang katanya rahmat, justru dianggap beban di dunia nyata. Nanti agama dibutuhkan ketika dinding rumah sakit menjadi tempat sandaran ketika sakit menghampiri. Di saat inilah do'a-do'a tulus mulai dipanjatkan kepada Tuhan. Setelah keluar dari RS dan kembali ke kehidupan sebelumnya, manusia kembali melupakan batasan-batasan agama.

Masyarakat kita telah disihir oleh materialisme yang halus tapi sangat nyata. Lihat saja bagaimana seorang anak muda bisa betah berjam-jam bikin konten prank yang kadang menipu orang tua sendiri, hanya demi konten yang “menghibur” dan bisa dimonetisasi. Seorang ibu rumah tangga yang dulu rajin ikut pengajian, kini sibuk bikin video yang mungkin membuat martabatnya sebagai manusia terhormat menjadi menurun atau rusak.  Bukan hanya soal halal atau haram, tapi kita telah bergeser dari prinsip ke algoritma. Dari akhlak ke analytics.

Anehnya, dalam kehidupan nyata, kita masih mengeluh tentang betapa rusaknya generasi, betapa lunturnya nilai-nilai. Tapi kita lupa bahwa sebagian besar dari kita sedang sibuk membangun dunia yang hanya punya satu nilai yaitu nilai tukar. Kita seperti orang yang menanam tanaman plastik, lalu berharap ada buah manis yang tumbuh darinya. Wara’ bukan sekadar ajaran kuno, tapi sistem imun spiritual agar manusia tidak mudah dibutakan oleh gemerlap yang palsu. Tapi sistem imun itu sekarang lemah, bahkan banyak yang sengaja melepasnya.

Padahal, hidup bukan soal bisa atau tidak bisa, tapi soal mau atau tidak mau menjaga. Ibarat orang di pasar yang dikelilingi makanan murah meriah, tinggal pilih. Tapi kalau ia punya alergi atau pantangan, ia akan tetap selektif. Nah, begitu juga wara'. Ia adalah pantangan bagi jiwa yang masih ingin sehat. Tapi kini, hampir tak ada yang peduli pada kesehatan jiwa. Semua fokus pada keseimbangan rekening. Dan ketika seseorang mengingatkan, ia bukan hanya dianggap kolot, tapi juga musuh bersama. Karena di dunia yang makin bising oleh konten, suara hati jadi terdengar mengganggu.

Mungkin kita memang sedang berada di persimpangan sejarah. Zaman di mana kesalehan menjadi tontonan dan hal-hal yang tak layak dijadikan konten. Tapi jangan salah, masih ada orang-orang yang memilih diam bukan karena setuju, tapi karena tak ingin tenggelam dalam arus komentar yang tajam dan menyakitkan. Mereka ini adalah lilin kecil yang menyala di tengah padang algoritma yang gelap. Mereka tak viral, tapi mereka tetap waras. Dan siapa tahu, dari mereka itulah kelak akan lahir gelombang kesadaran baru. Kesadaran bahwa mencari rezeki bukan hanya soal apa yang masuk ke kantong, tapi juga apa yang masuk ke hati.

(Tulisan ini tidak bermaksud menggeneralisasi pelaku medsos. Tulisan dimaksudkan sebagai pengingat bersama terutama untuk diri sendiri, bukan menasehati apalagi menggurui. Semoga kita semua tanpa terkecuali selalu dimaafkan oleh Tuhan untuk setiap kekhilafan yang kita lakukan baik sengaja maupun yang di luar kendali kita)

Dan terakhir saya mendoakan kebaikan untuk semua yang sedang berjuang keras demi hidup lebih baik.🤲


Opini LAINNYA

Mendorong Lahirnya Perda Pesantren

Kemenangan di Hari Qurban

Menuju Pulau Harapan Dalam Keberkahan

Memahami Perintah Tuhan

Orientasi Dalam Beragama

Persaudaraan Sejagat

Menterjemahkan Simbol Beragama