Memahami Perintah Tuhan

Oleh : Ilham Sopu

Ketika terjadi dialog antara Ibrahim dan Ismail terkait mimpi Ibrahim untuk menyambeli Ismail, ada hal yang sangat menarik dari dialog antara kedua Nabi tersebut. Ibrahim yang dikenal sebagai Nabi yang keras memperjuangkan agama monoteis. Pengalaman Ibrahim dalam mencari kebenaran itu direkam dalam Al-Qur'an.

Ibrahim menerima perintah lewat mimpi, dan mimpi itu disampaikan kepada Ismail, anaknya yang sangat dicintainya. Sekalipun ini perintah yang harus dilaksanakan, tapi Ibrahim masih meminta pandangan kepada sang anak, Ismail, lewat ayat "Fandzur madza tara", maka pikirkanlah apa pendapatmu, seharusnya Ibrahim langsung saja mengeksekusi perintah dari Tuhan tersebut.

Ibrahim sangat paham tentang perintah dari Tuhan, tetapi Ibrahim masih mencoba untuk meminta pandangan dari Ismail, dan Ibrahim juga sangat yakin tentang jawaban yang akan diberikan oleh Ismail, bahwa Ismail tidak akan membantah perintah tersebut. Jawaban sang anak Ismail, adalah jawaban yang sudah diduga oleh Ibrahim, yaitu kerjakan apa yang diperintahkan kepadamu, jawaban Ismail ini adalah pernyataan keimanan yang sesungguhnya, ketika kita menjalankan setiap perintah Tuhan, apa pun bentuknya.

Jawaban Ismail adalah suatu jawaban bagi orang yang sudah punya kualitas keimanan yang sudah sangat mantap. Apapun perintah dari Tuhan itulah yang terbaik untuk dilaksanakan. Mungkin dalam pandangan manusia biasa yang tidak punya keimanan yang mantap, akan memberikan jawaban, yang tidak meyakinkan, atau orang punya  keyakinan yang lemah. mungkin dia akan berkata, Bapakku, adakah hikmah di balik perintah ini?, ini adalah jawaban yang tidak punya dasar ketauhidan yang kuat, jawaban yang tidak tegas, dengan cara, apa ada hal bisa diambil atau hikmah dari mimpi itu.

Sisi jawaban yang lain yang juga kurang kurang tegas adalah, Wahai, Bapakku, mungkinkah ada makna lain di balik mimpimu ini?, berusaha mencoba untuk memberikan intepretasi yang lain terhadap suatu perintah. Keyakinan para Nabi  terhadap suatu perintah atau larangan itu berada pada pada tingkat haqqul yaqin, keyakinan yang sudah sangat tinggi.

Itulah yang dipraktekkan oleh kedua Nabi tersebut, Ibrahim dan Ismail, banyak hal yang bisa kita gali dari peran kedua Nabi tersebut.  Momentum idul adha banyak memberikan kita informasi lewat mimbar-mimbar khotbah maupun bacaan-bacaan yang banyak kita dapatkan di media sosial yang tulis oleh para pakar atau cendekiawan muslim terkait perjalanan kedua Nabi tersebut sebagai suri tauladan dalam memaknai perjalanan kehidupan keagamaan atau peradaban umat ke depan.

(Bumi Pambusuang, 6 Juni 2025)


Opini LAINNYA

Memahami Perintah Tuhan

Orientasi Dalam Beragama

Persaudaraan Sejagat

Menterjemahkan Simbol Beragama

Menjadi Manusia Rohani

Nuhiyah Penammatan Tiga Tingkatan