Ulama Dunia Dukung Ekoteologi, Jaga Lingkungan Bagian Tujuan Penerapan Syariat

Halaqah pada MQK Internasional di Pesantren As'adiyah Macanang, Wajo

Wajo (Kemenag) --- Sejumlah ulama dunia mendukung penguatan penerapan ekoteologi. Hal ini mengingat lingkungan merupakan wadah bagi tercapainya lima tujuan pelaksanaan syariat, yaitu: menjaga jiwa, akal, keturunan, martabat, dan harta.

Krisis lingkungan berkepanjangan memberikan dampak signifikan terhadap terpenuhinya lima tujuan pokok penerapan syariat. Bahkan, penjagaan terhadap lingkungan ini dipandang penting dan setara sebagai tujuan pokok yang mandiri. Setidaknya, hal tersebut merupakan sarana vital untuk melanggengkan kebutuhan pokok yang sudah ada.

Guru Besar Universitas Ibn Tofail, Kenitra, Maroko Prof Maryam Ait Ahmed menyampaikan bahwa hukum memelihara lingkungan adalah wajib secara syariat. Hal ini menjadi tujuan syariat (maqshid) dan diperkuat oleh dalil-dalil syar'i.

"Lingkungan yang sehat sangat diperlukan untuk menjaga kelima kebutuhan pokok. Misalnya, keruhnya air, udara, dan tanah disebabkan oleh ulah manusia yang mengancam keamanan lingkungan global," katanya secara virtual dalam Halaqah Internasional di Pondok Pesantren As'adiyah Macanang, Wajo, Sulawesi Selatan, Jumat (4/10/2025).

Menurutnya, keberadaan lingkungan merupakan nikmat dari Allah swt yang harus disyukuri dengan tidak merusaknya dan menggunakannya sesuai dengan tujuan penciptaannya.

Oleh karena itu, ia memandang penting pengembangan fiqih lingkungan sebagai upaya ijtihad kontemporer yang mendesak untuk menyelesaikan masalah umat Islam di era modern. Hal ini juga guna mengaktifkan tujuan syariat dari sekadar teori menjadi aplikasi praktis.

Dalam pelaksanaannya, pelestarian lingkungan itu dilakukan melalui kebersihan, reboisasi, dan pengelolaan sumber daya optimal, serta pencegahan kerusakan (hifzhul bi'ah min jihatil 'adam) melalui larangan perusakan, pemborosan (israf), dan pencemaran.

Senada, Prof Abdelhamid El-Assyaq menyampaikan bahwa menjaga lingkungan menjadi tujuan syariat yang mendesak dan mandiri. Hal ini mengingat keberadaan manusia dengan krisis lingkungan berkepanjangan semakin terkikis.

"Mengingat krisis yang mengancam eksistensi manusia, hifzhul bi'ah telah menjadi kebutuhan pokok yang mendesak dan mandiri (dlaruri mustaqill) dalam konteks kontemporer," katanya.

Direktur Dar al-Hadith al-Hassaniyyah, Universitas Al-Qarawiyyin, Rabat itu menuturkan, teks-teks syariat secara kolektif menunjukkan bahwa menjaga lingkungan adalah tujuan utama, bukan sekadar etika. Hal ini didukung oleh larangan umum merusak (al-ifsad) dan perintah menjaga keseimbangan kosmik (al-mizan).

Pasalnya, ia memandang bahwa kegagalan menjaga lingkungan secara langsung merusak tujuan penerapan syariat lainnya. Penjagaan jiwa menjadi rusak gegara minimnya sumber air, udara, dan makanan yang baik sehingga mengakibatkan kerusakan hingga wabah dan kelaparan.

Dampak langsung lingkungan yang tak terjaga juga bisa memengaruhi akal akibat polusi kimia/radiasi merusak fungsi kognitif. Pun demikian adalah keturunan akibat kerusakan lingkungan sehingga mengakibatkan penyakit genetik dan kemandulan.

Kerusakan lingkungan berdampak pada kemunculan beragam bencana alam. Hal ini berujung pada rusak dan habisnya aset harta. Puncaknya, kegagalan menjaga tatanan alam yang adil (al-mizan) menyebabkan terputusnya agama.

Oleh karena itu, menurutnya, diperlukan pengembangan Teologi Hijau (The Green Theology), pembentukan wakaf lingkungan, penciptaan pusat penelitian fiqh al-bi'ah, integrasi pendidikan lingkungan dalam kurikulum agama, dan pembentukan badan pengawas syariat lingkungan.


Wilayah LAINNYA