PENYULUH AGAMA MENYONGSONG TANTANGAN MASA DEPAN 

Oleh: Burhanuddin Hamal (Penyuluh Agama Islam Fungsional KUA Kec. Tinambung Polewali Mandar)

Penyuluh Agama adalah komunitas yang diberi tugas dan tanggung jawab, wewenang serta hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melakukan kegiatan bimbingan atau penyuluhan keagamaan dan pembangunan melalui bahasa agama (SKB Menteri No. 574/1999 dan No. 178/1999).

Sebagai yang diposisikan di garda terdepan maka kompetensi Penyuluh Agama ditentukan oleh adanya keinginan untuk BELAJAR dan BERFIKIR. Meningkatnya permasalahan ummat dari waktu ke waktu secara otomatis menuntut para Penyuluh Agama untuk tekun menapaki pembelajaran dalam menambah referensi keilmuan yang saling melengkapi. Akan tetapi, "menggudangnya" disiplin ilmu yang diperoleh lewat ketekunan belajar, pun tak serta merta bisa dikonsumsikan secara mentah tanpa melewati reduksi-reduksi tertentu. Di sinilah seorang Penyuluh Agama juga dituntut untuk belajar BERFIKIR (perluasan wawasan) agar materi-materi apapun yang disampaikan tidak justru melahirkan masalah-masalah baru yang kontradiktif. Tentu saja dukungan pengalaman sebagai guru yang paling berharga menjadi poin penting bagi tercapainya target penyuluhan.

Di sisi lain, kecenderungan berfikir tanpa keseimbangan ilmu yang memadai juga menjadi ancaman membahayakan. Kita hidup di negeri yang plural. Ragam perbedaan mulai dari hal suku, ras, agama bahkan keyakinan yang sifatnya lokal membingkai kebersamaan. Karena itu, prinsip "Qulil haqqa walau kaana murran" (katakanlah yang benar meskipun itu pahit) tentu saja masih perlu dicermati lewat kajian-kajian persuasif agar teraktualisasi lewat metode "bil-hikmah" (QS. An-Nahl: 125). Bukankah pendekatan kearifan dan kebijaksanaan tersebut yang justru mengantar Rasul ke posisi Da'i tersukses sepanjang sejarah peradaban manusia ?.

Ada tiga hal penting yang secara filosofis mutlak bersinergi dan itu merupakan refresentasi dari makna bil-hikmah sebagaimana yang diperankan Rasul dalam mengembangkan dakwahnya, sebagai berikut :

(1) ASPEK PERSONAL.
Di tataran kepribadian, Rasul dikenal sebagai manusia yang baik, panutan penuh santun bahkan gelar Al-Amin atau "Yang Dipercaya" menjadi jaminan reputasi sosialnya. Hal ini terlegitimasi dalam QS. Al-Ahzab: 21.

(2) ASPEK VISIONER. Materi dakwah yang diperjuangkan Rasul tak lain adalah Al-Qur'an yang merupakan sumber ajaran-ajaran Tuhan beresensi kebaikan, kebenaran, keindahan dan berorientasi pada kemaslahatan kolektif (QS. Al-Anbiya': 107).

(3) ASPEK ETIKA.
Sebagai penyebar risalah Ilahiyah, Rasul menjalankan misi sucinya dengan cara yang baik, santun, rendah hati, tidak egois apalagi arogan serta beberapa sifat terpuji lainnya dimana muatan persuasifnya sangat menyentuh kekuatan hati manusia. Tentu bisa dibayangkan bagaimana jadinya suatu perjuangan bila salah satu dari ketiga urgensi aspek di atas tertanggal dari diri seorang penyeru kebenaran.

Penyuluh Agama sesungguhnya merupakan pekerjaan mulia karena hakikatnya melanjutkan tugas dan cita-cita para Nabi. Muatan QS. Al-Asr: 1-3 menekankan betapa antar orang-orang beriman sesungguhnya mengemban amanah penting untuk saling "ingat mengingatkan" pada hal-hal yang semestinya (Tusi Penyuluh Agama). Akan tetapi, tugas dan fungsi tersebut juga berpotensi menjadi "bumerang" bila reputasi sosok sebagai Penyuluh Agama tak mengakumulir tiga hal penting yang mutlak bersinergi (Berkepribadian BAIK, hal yang dibawakannya BAIK dan cara membawakannya juga BAIK). 

Kehebatan ilmu seorang Penyuluh Agama belumlah cukup jadi modal apalagi bila secara ekstrim menyuarakan prinsip-prinsip yang meskipun benar. Karena itu, tentu saja tak berlebihan bila sejenak kita mengingat legenda Barata Yudha dimana Pangeran Arjuna ketika itu dengan lihainya merancang taktik "kepungan cakrabiuha" untuk strategi kemenangan. Ini sama halnya bahwa sebagai Da'i (dalam level dan skala apapun) tak harus bersosok layaknya ayam pejantan yang dengan ketajaman tajinya siap "menyerang" siapa saja tanpa memperhitungkan batasan rambu-rambu. Tidakkah kita perlu berfikir bahwa daripada berpotensi "mati konyol" lebih baik belajar menyuluh ala Wali Songo yang kepiawaiannya justru tak secara frontal menabrak tatanan-tatanan kultur ?.

Akhirnya, meski teori ini harus berproses di individualitas kita masing-masing, namun demi kelahiran Penyuluh Agama berkarakter elegan dan bersosok bijaksana (teliti dalam berfikir dan cerdas dalam bertindak) maka semoga catatan secuil ini bermanfaat untuk renungan masa depan.

Ushikum wanafsi bitaqwallah, Wallahu a'lam bisshawab.


Opini LAINNYA