Khusu'  Ritual, Khusu' Sosial

Oleh : Ilham Sopu

Bahasa khusu' lebih terkait dengan ibadah mahdha, yakni ibadah yang berhubungan langsung kepada Allah SWT. Secara umum ibadah dalam agama terbagi atas dua macam, yakni ibadah mahdha dan ibadah gairu mahdha, atau ibadah ritual dan ibadah sosial. Ibadah ritual lebih terkait dengan hubungan personal antara hamba dengan Tuhannya, sementara sosial terkait dengan hubungan dengan sesama manusia. Dalam kajian keislaman berbincang tentang khusu' lebih banyak terkait dengan ibadah shalat, jarang ditempelkan ke ajaran yang lain, apalagi dengan ibadah sosial, tidak pernah kita dengar bahasa khusu' terkait dengan ibadah sosial.

Dan khusu' bukanlah suatu hal yang mudah, menjadi khusu' dalam ibadah shalat, itu adalah hal sulit. Itulah sebabnya para ahli fiqh tidak menjadikan khusu' sebagai rukun atau syarat sebagai sahnya ibadah dalam shalat. Khusu' menjadi bagian dari aspek esoteris dalam beragama, sekalipun demikian pengaruh aspek yang berkaitan dengan badani itu dibahas dalam ilmu fiqih, yang intinya adalah kita dilarang untuk terlalu banyak bergerak, diluar yang berkaitan dengan gerakan-gerakan shalat, dan gerakan itupun dibatasi dalam tiga gerakan diluar gerakan shalat.

Dalam teks keagamaan disebutkan bahwa salah satu sifat orang yang beriman adalah "orang yang khusu' dalam shalatnya", jadi khusu' adalah hal  yang sangat penting dalam beragama, dan akan berimbas dalam kehidupan keseharian seseorang. Dalam teks yang lain, dikatakan, "celakalah orang yang shalat, ialah mereka yang lupa dalam shalatnya", orang yang shalat bisa celaka, bilamana shalatnya tidak berdampak terhadap kehidupan pribadinya dan kehidupan sosialnya. Dengan melihat teks-teks di atas, khusu' terkait dengan internal beragama maupun sifatnya eksternal dalam beragama atau output dalam beragama.

Khusu' dalam beragama yakni ibadah ritual itu sangat terkait dengan khusu' secara sosial, atau ibadah sosial, atau dalam bahasa tulisan ini adalah khusu' sosial. Orang yang khusu' saja dalam dalam ibadah ritual, tanpa ada keterlanjutan ke aspek sosial, itulah yang akan mendapat sindiran dari Tuhan dalam surah Al Maun, yakni orang lupa dalam shalatnya. Dengan merujuk ke ayat-ayat tadi, kekhusu'an itu sangat terkait antara khusu' secara ritual dan  khusu' secara sosial. Banyak orang dari aspek ritual sangat hebat cara beribadahnya, namun secara sosial dia mines, sangat kering ibadah sosialnya.

Banyak contoh yang digambarkan oleh Nabi, tentang seseorang yang ibadah ritualnya begitu mengagumkan namun dalam aspek sosial mengalami kekeringan. Nabi menceritakan tentang seorang perempuan yang sangat rajin shalat malam, begitupun puasah sunnahnya begitu banyak, tapi dia sering menyakiti tetangganya dengan perkataan-perkataan yang menyakitkan. Jawaban Nabi terhadap perempuan ini adalah neraka tempatnya.

Di tempat yang lain, Nabi juga pernah bertanya kepada para sahabatnya tentang orang bangkrut, jawaban sahabat waktu itu agak meleset dari pertanyaan Nabi, jawaban yang sifatnya duniawiah, sedangkan jawaban Nabi sifatnya jangka panjang, bahwa bangkrut dalam perspektif Nabi sifatnya bangkrut secara eskatologis. Dan jawaban Nabi ini sangat terkait dengan berislam secara ritual dan secara sosial. Jawaban Nabi terhadap orang bangkrut adalah yang datang nanti di akhirat dengan membawa seabrek pahala-pahala ritualnya, tetapi pahala tersebut, terhapus semua karena terlalu banyak juga dosa sosialnya.

Dengan melihat kedua makna hadis tersebut  di atas, ternyata bahwa ibadah ritual atau ibadah mahdha bisa terhapus karena banyaknya dosa sosial yang kita lakukan. Sementara dosa sosial tidak terhapus dengan ibadah ritual yang kita lakukan. Idealnya adalah memperkuat ibadah ritual dan mencoba untuk menterjemahkan ibadah tersebut dalam konteks kehidupan sosial kemasyarakatan. Dan memang seluruh ibadah-ibadah mahdha atau ibadah ritual itu mengandung aspek sosial. Dalam rukun Islam mulai dari syahadat sampai dengan haji, semuanya mengandung nilai-nilai sosial, secara hirarki syahadat itu kentara nilai-nilai ritual atau mahdha sementara haji, sangat kaya dengan simbol-simbol dan sangat kentara nilai-nilai sosialnya.

Ibadah haji sebagaimana yang digambarkan Dr. Ali Syariati cendekiawan asal Iran dalam salah satu bukunya yang cukup terkenal yaitu "Haji", sangat piawai menggambarkan ibadah haji, dia mengulas haji dengan berangkat dari simbol-simbol haji, simbol-simbol tersebut dicoba dimaknai Ali Syariati, secara tekstual dan kontekstual, eksplisit dan implisit, eksoteris dan esoteris. Di sini Ali Syariati tidak hanya berhenti pada simbol, tapi mencoba memaknai simbol tersebut secara lebih mendalam.

Dan buku ini sangat penting untuk dibaca dan dikaji baik yang belum haji maupun sudah haji, ada makna-makna baru tentang haji bisa kita dapat dalam buku ini, yang tidak dikaji di buku-buku yang lain. Pada akhirnya agama Islam adalah yang sangat menyeimbangkan antara aspek ritual dan aspek sosial dalam beragama. Ada ketersambungan dari aspek ritual ke aspek sosial. Keseimbangan tersebut itu akan melahirkan manusia-manusia yang moderat dalam beragama.

(Bumi Pambusuang, 21 Agustus 2025)


Opini LAINNYA

Khusu'  Ritual, Khusu' Sosial

Stunting Intelektual

Keteladanan Gus Dur

Prisma Pemikiran Gus Dur

Sang Kiai Yang Meneduhkan

Pesan Kematian

Dari Eksoterika Agama Ke Esoterika Agama