Zakat: Jembatan Ruhani Antara Kepemilikan dan Kemanusiaan

Oleh: Sadikin (Penyuluh Agama Kemenag Mamuju)

Di tengah derasnya arus kapitalisme dan individualisme, zakat hadir sebagai oase spiritual yang mengingatkan manusia akan esensi sejatinya: bahwa kepemilikan hanyalah titipan, dan kebahagiaan hakiki justru terletak dalam memberi, bukan memiliki.

Secara harfiah, zakat berarti "bersih", "suci", dan "berkembang". Tapi makna filosofisnya jauh lebih dalam. Zakat bukan semata-mata kewajiban ritual atau hitungan persen dari harta; ia adalah simbol pengakuan bahwa rezeki bukan semata hasil jerih payah, tapi juga berkah dari Tuhan yang mengalir lewat tangan-tangan tak terlihat.

Di balik angka 2.5% itu, tersembunyi pelajaran hidup yang luar biasa. Ia mengajarkan kita bahwa hakikat kekayaan tidak diukur dari seberapa banyak yang kita kumpulkan, tapi dari seberapa besar yang kita berikan kepada mereka yang membutuhkan. Zakat mengajarkan bahwa dalam setiap harta yang kita miliki, terdapat hak orang lain yang Tuhan titipkan. Maka menunaikannya bukanlah sedekah belaka, melainkan bentuk keadilan sosial yang sakral.

Lebih dari itu, zakat adalah dialog batin antara manusia dan Tuhannya. Ia membisikkan pesan bahwa kekayaan bisa menjadi ujian, bukan hanya nikmat. Bahwa dalam setiap rezeki, terkandung tanggung jawab moral dan sosial. Ia mencabut akar kesombongan, dan menanamkan benih empati dalam jiwa.
Zakat menyatukan dua dunia: dunia spiritual dan dunia sosial. Ia membersihkan hati dari kerak keserakahan, dan membersihkan masyarakat dari jurang ketimpangan. Ia bukan hanya menciptakan keseimbangan ekonomi, tapi juga membangun jembatan kasih antara yang punya dan yang tak punya, antara yang diberi lebih dan yang sedang diuji.

Dalam masyarakat yang ideal, zakat adalah sistem sosial yang revolusioner. Ia memupus stigma kemiskinan sebagai aib, dan memuliakan penerima sebagai bagian dari ekosistem kebaikan. Pemberi tidak lebih tinggi derajatnya, dan penerima tidak lebih rendah martabatnya. Karena zakat bukan soal siapa yang memberi, tapi tentang siapa yang sedang dipercaya Tuhan untuk menyalurkan rahmat-Nya.

Maka, jika kita renungi lebih dalam, zakat bukan hanya tentang harta, tapi tentang rasa. Rasa peduli. Rasa bersyukur. Rasa berbagi. Dan rasa sadar bahwa kita hidup bukan untuk diri sendiri, melainkan sebagai bagian dari komunitas yang saling menanggung dan menopang.

Zakat adalah pengingat abadi bahwa dalam harta kita, ada kehidupan orang lain yang sedang menanti. Dan dengan memberi, kita sesungguhnya sedang menerima—yakni kedamaian jiwa, keberkahan hidup, dan cinta Tuhan yang tak terhingga.


Opini LAINNYA

Ziarah Intelektual 

Nurani Yang Lumpuh

Sugesti Singkat Tentang Maulid

Guru Spiritual, Realitas 

Ujung Dari Agama

Meneladani Gus Dur, Merawat Indonesia 

Khusu'  Ritual, Khusu' Sosial

Stunting Intelektual