Judul ini di atas terinspirasi dari salah satu judul buku dari Kiai Husein Muhammad, seorang Kiai yang sangat produktif dalam menulis, Kiai yang cendekiawan, cendekiawan yang Kiai, Kiai yang aktifis. Sulit kita menemukan tergabung dalam diri seseorang, cendekiawan sekaligus juga sebagai seorang Kiai, atau Kiai sekaligus seorang cendekiawan. Biasanya yang umum kita liat adalah seorang Kiai adalah seorang ahli agama, yang menguasai kitab-kitab klasik, teladan umat, tapi mines dalam wawasan kemodernan, wawasan sosiologis kemasyarakatan, sedangkan seorang cendekiawan yang sangat fasih dalam membaca sosial kemasyarakatan, menganalisis berbagai problem kebangsaan tapi membaca teks-teks keagamaan agak tersendat-sendat, ngaji kurang lancar.
Model Kiai Husein, adalah model Kiai yang sangat familier mengkaji kitab-kitab klasik, karya ulama-ulama besar masa-masa kejayaan Islam seperti Al Gazali, Ibnu Rusyd, Ibnu Sina, Al Mawardi, dan ulama-ulama yang datang sesudah mereka, yakni ulama-ulama kontemporer. Bukan hanya itu kadang juga mengutip referensi-referensi yang dikarang oleh pakar-pakar dari barat, sehingga keilmuan Kiai Husein adalah keterpaduan antara ilmu-ilmu keislaman yang klasik dan kontemporer.
Membaca karya-karya Kiai Husein, kebanyakan menyentuh pada persoalan kehidupan sehari-hari, respon terhadap berbagai persoalan di masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari aspek agama, budaya, seni, sosial, filsafat, ilmu, semuanya dikemas dalam pendekatan bahasa yang sangat familier dalam masyarakat, dan kadang dikemas dalam bahasa dialog atau percakapan, lewat pengalaman pribadi Kiai, dalam berbagai kegiatannya.
Kiai Husein, selalu mengupas materi-materi keislaman dengan kupasan mudah untuk dipahami. Penyampaian pesan-pesan keagamaannya, betul-betul merujuk hadis Nabi "Yassiruu wa la tuassiruu", permudahlah dan jangan mempersulit, dan memang ajaran Islam mudah, ramah dan indah. Kalau kita mempelajari dakwah-dakwah Nabi, baik diperiode makkah lebih-lebih di periode Madinah itu sangat kentara dengan penyampaian ajaran-ajarannya yang begitu lembut, penuh hikmah, bijak, dan argumentatif.
Mengapa penyebaran agama yang di bawa oleh Nabi begitu cepat tersebar hanya dalam tempo kurang lebih 23 tahun, disamping keteladanan yang dicontohkan oleh Nabi, juga karena bahasa yang digunakan oleh Nabi itu sangat mudah dipahami oleh para sahabat-sahabatnya. Nabi dikenal sebagai orang yang sangat piawai dalam meramu bahasa yang mudah dan punya makna yang dalam, sehingga Nabi digelari sebagai "jamiul kalimi", punya retorika bahasa yang singkat tapi sarat dengan makna dan jelas.
Ketika ada seorang sahabat ingin mempersulit dirinya dalam beribadah, seperti dalam suatu riwayat, ada seorang sahabat, beribadah terus di mesjid, ingin puasa terus menerus, tidak mau lagi bercampur dengan istrinya, dan informasi ini sampai kepada Nabi, dan Nabi menegur sahabat tersebut, Nabi mengatakan kepada sahabat tersebut bahwa Nabilah yang paling bertaqwa, tapi beribadah tidak seperti itu, Nabi punya waktu untuk keluarga, ada waktu silaturrahim dengan para sahabat, ada waktu beribadah dengan para sahabat, Nabi tidak mempersulit diri, dan tidak mempersulit sahabat-sahabatnya.
Dalam salah satu hadis Nabi yang cukup terkenal, dikatakan "Apabila Rasulullah saw, disuruh memilih diantara dua perkara, niscaya beliau lebih memilih yang lebih mudah diantara keduanya, selama itu tidak dosa. Adapun jika itu perbuatan dosa maka beliau adalah orang yang paling menghindarinya." Allah swt dan Nabi-Nya menghendaki kemudahan bagi umat manusia, sementara manusia sering kali mempersulit diri dan orang lain.
Orientasi Nabi adalah memudahkan, selama perbuatan-perbuatan tidak mengarah kepada hal-hal bisa menjerumuskan kepada perbuatan dosa. Karena tidak satupun ajaran agama yang diturunkan oleh Tuhan dan Nabi, itu bertentangan dengan fitrah kemanusiaan. "Dia tidak menjadikan kesulitan untukmu dalam agama". (QS.al-Hajj : 78). Agama itu sangat connect dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Oleh sebab itu, marilah kita beragama dengan nyaman, damai, mengedepankan nilai-nilai keilahian dan nilai-nilai kemanusiaan, agama ini turunkan oleh Tuhan, dan diterima oleh manusia, dan manusialah yang menerima nilai-nilai tersebut, dan diterjemahkan dalam bentuk nilai-nilai yang humanis.
Itu cara beragama dengan nyaman, pada prinsipnya inti agama adalah ma'rifatullah, inti ma'rifatullah adalah akhlak, inti akhlak adalah silaturrahim dan inti silaturahim adalah memasukkan rasa bahagia kedalam hati setiap saudara kita.
(Bumi Palippis, 6 Juli 2025)
