Dalam rangka memenuhi kebutuhan manusia, Al-Qur’an tidak hanya memberi petunjuk spiritual, tetapi juga membangun peradaban berbasis ilmu, akal sehat, dan kebebasan dari tahayul. Ayat "Iqra'" menjadi titik tolak revolusi pemikiran dan pencerahan umat manusia.
Al-Qur’an tidak dimulai dengan ayat perintah untuk shalat, puasa, atau zakat. Ia justru dimulai dengan satu kata yang revolusioner yaitu "Iqra’ " bacalah! Sebuah kata sederhana yang mengguncang dunia. Ia hadir di tengah masyarakat yang gemar menghafal silsilah kuda, namun buta huruf tentang dunia sekelilingnya. Ia turun bukan kepada kaum cendekia, tapi kepada seorang nabi yang "ummī" tidak membaca dan menulis secara formal. Namun justru dari sanalah revolusi pengetahuan lahir. Iqra’ bukan sekadar seruan membaca dalam arti teknis, melainkan pembuka jalan menuju kesadaran, ilmu, dan kemanusiaan yang tercerahkan.
Ayat pertama ini seperti menegaskan bahwa agama bukan sekadar ritual, tapi jalan pembebasan. Membaca adalah kunci utama yang membedakan antara manusia yang merangkak dalam gelap dan manusia yang berjalan dengan cahaya. Dengan membaca, manusia membuka pintu ilmu. Dengan ilmu, manusia merdeka dari belenggu kebodohan. Dan dari kemerdekaan itu tumbuhlah akal yang sehat, pemikiran yang jernih, dan peradaban yang bermartabat. Maka ketika Allah memulai wahyu dengan kata "Iqra’, itu adalah deklarasi bahwa Islam bukan agama stagnan, tapi agama dinamis yang menuntut gerak, pikir, dan pencerahan.
Karena itulah, Al-Qur’an adalah seruan kepada ilmu. Ia tidak pernah jemu mengajak manusia untuk bertafakkur (merenung), tadabbur (memahami), dan ta‘aqqul (menggunakan akal). Lebih dari 700 ayat dalam Al-Qur’an mendorong manusia berpikir. Dalam Islam, ilmu bukan pelengkap ibadah, melainkan pondasinya. Bahkan Rasulullah pernah bersabda bahwa “menuntut ilmu itu wajib bagi setiap Muslim.” Maka jelas, umat yang meninggalkan ilmu berarti sedang menanggalkan ruh ajaran agamanya. Jika Islam digambarkan sebagai pohon yang tinggi menjulang, maka akarnya adalah ilmu. Tanpa akar, ia akan tumbang, walau batang dan daunnya tampak rindang.
Kita bisa melihat hari ini perbedaan bangsa-bangsa yang melek huruf, teknologi informasi mereka melesat dengan cepat menuju kemajuan dan kemandirian dalam berbagai bidang. Dibandingkan dengan negara atau bangsa yang minim literasi. Mereka tertinggal jauh dalam banyak hal. Namun lebih dari itu, Iqra’ juga berarti pembebasan bagi akal. Sebelum Islam datang, akal dikekang oleh tradisi buta, keyakinan tanpa dalil, dan pemujaan berhala yang diwarisi tanpa tanya. Maka Al-Qur’an datang menantang: "Apakah kamu tidak berpikir? sebuah pertanyaan tajam yang berulang kali muncul dalam berbagai redaksi. Islam memberi tempat terhormat bagi akal, tetapi juga membimbingnya agar tidak liar. Di sinilah letak keseimbangan Islam: antara wahyu dan akal, antara iman dan rasio. Islam tidak memusuhi akal, tapi juga tidak memujanya secara mutlak. Ia mengajak berpikir dalam bingkai nilai.
Seiring dengan itu, Al-Qur’an mengikat manusia dari jerat khurafat, kesesatan, dan bid‘ah. Di banyak masyarakat, kepercayaan pada hal-hal gaib tanpa dasar menyuburkan ketakutan, manipulasi, bahkan kekerasan. Keberadaan tahayul, hingga kultus individu sering kali mengunci akal sehat dan mengaburkan agama dari tujuan sejatinya. Maka Al-Qur’an datang membawa lentera untuk menyibak gelapnya khurafat. Ia menolak doktrin yang tak masuk akal, mengkritik ritual tanpa makna, dan mengembalikan agama kepada esensinya, membawa rahmat dan membebaskan manusia dari segala bentuk perbudakan termasuk perbudakan intelektual.
Sayangnya, di banyak tempat hari ini, ruh Iqra’ justru mulai pudar. Banyak yang membaca, tapi enggan memahami. Banyak yang hafal, tapi enggan merenung. Banyak yang berbicara agama, tapi menjauh dari ilmu. Kita menyaksikan fenomena di mana bacaan sakral dibaca tanpa makna, diulang tanpa penghayatan. Dalam kondisi seperti ini, Islam bisa terjebak menjadi simbol budaya, bukan sumber peradaban. Padahal, umat ini pernah memimpin dunia justru ketika mereka membaca, menulis, berdiskusi, dan membangun ilmu pengetahuan. Umat yang berpijak pada Iqra’ adalah umat yang percaya bahwa perubahan besar selalu dimulai dari pikiran yang tercerahkan.
Karena itu, kembalilah ke Iqra’. Bacalah bukan hanya dengan mata, tapi dengan hati. Jangan biarkan iman tumbuh di atas kebodohan, atau akal berjalan tanpa cahaya wahyu. Jadikan ilmu sebagai bekal hidup, bukan sekadar penghias pidato. Tanpa ilmu, ibadah bisa kehilangan ruh. Tanpa akal, agama bisa menjadi alat penindas. Dan tanpa cahaya Qur’an, manusia bisa tersesat dalam jalan yang ia kira benar. Iqra’ adalah panggilan abadi untuk setiap manusia yang ingin hidup bermakna, berpikir jernih, dan mengabdi secara utuh. Sebab membaca, dalam semangat wahyu pertama itu, adalah awal dari segala kebangkitan.
Opini
Iqra' Sebagai Pondasi Literasi (Seruan Langit Yang Terabaikan)
- Kamis, 10 Juli 2025 | 20:07 WIB
