Dari Hati ke Hati: Pendidikan Cinta dalam Spirit Keislaman

Oleh: Hamzah (Dosen Pascasarjana IAIN Parepare)

Belakangan ini publik dikejutkan oleh gagasan “kurikulum cinta” yang dilontarkan oleh Menteri Agama  Prof. Dr. K.H. Nasaruddin Umar. Sebagian menganggap ide ini utopis, mencibirnya sebagai romantisme yang tidak realistis dalam dunia pendidikan yang serba kompetitif, sebagian lagi menyambutnya dengan antusias dan optimisme. Namun jika ditelaah secara mendalam, sejatinya gagasan ini bukan sesuatu yang asing dalam tradisi keislaman. Islam sejak awal merupakan agama yang diturunkan untuk menyebarkan rahmat dan cinta—rahmatan lil ‘alamin, dan juga kurikulum cinta bisa menjadi jawaban atas krisis kemanusiaan dalam sistem pendidikan kita hari ini.

Cinta dalam Islam: Bukan Sekadar Emosi

Dalam Islam, cinta bukanlah sekadar emosi lembut yang hadir sesaat. Ia adalah nilai transenden yang mewujud dalam tindakan nyata: kasih sayang, empati, pengorbanan, dan kepedulian terhadap sesama makhluk. Allah sendiri mengenalkan diri-Nya sebagai Ar-Rahman dan Ar-Rahim—dua sifat utama yang berakar dari kata rahmah (kasih sayang).

Dalam Islam, cinta bukan sekadar emosi. Ia adalah tindakan sadar yang didasarkan pada nilai-nilai ilahiah. Nabi Muhammad ﷺ sendiri adalah sosok pendidik cinta yang luar biasa. Beliau mendidik dengan kelembutan, menyentuh jiwa para sahabat, dan menciptakan masyarakat yang saling menyayangi. Jika pendidikan hari ini ingin membentuk generasi yang beradab, maka pendekatan semacam ini patut ditiru.

Nabi Muhammad ﷺ adalah teladan cinta itu. Dakwah beliau bukan dimulai dari ancaman, tetapi dari pelukan kasih. Beliau bersabda:

"Orang-orang yang penyayang akan disayangi oleh Tuhan Yang Maha Penyayang. Sayangilah yang ada di bumi, niscaya Yang di langit akan menyayangi kalian." (HR. Abu Dawud)

Dalam pendidikan, pendekatan penuh cinta adalah prinsip utama dalam pembentukan karakter. Cinta menjadi jembatan antara ilmu dan akhlak, antara pengetahuan dan perilaku. Tanpa cinta, pendidikan kehilangan rohnya—menjadi transfer informasi tanpa transformasi batin.

Mengapa Pendidikan Kita Perlu Kurikulum Cinta?

Kita hidup di tengah zaman yang penuh kegelisahan: perundungan di sekolah, kekerasan simbolik antara guru dan siswa, bahkan kompetisi akademik yang menciptakan tekanan mental. Sekolah seharusnya menjadi rumah yang nyaman, bukan ladang perlombaan. Dalam konteks ini, kurikulum cinta hadir bukan untuk memanjakan, tapi mengembalikan pendidikan pada fitrahnya, yaitu membentuk manusia utuh.

Pakar pendidikan Paulo Freire menyebut pendidikan sejati sebagai proses “humanisasi”. Menurutnya, pendidikan harus menyadarkan manusia akan martabatnya sebagai makhluk berakal dan berperasaan. Hal ini sejalan dengan konsep tarbiyah dalam Islam yang bermakna tumbuh, berkembang, dan penuh kasih dalam pembimbingan.

Kurikulum pendidikan kita terlalu lama berkutat pada angka dan hafalan. Aspek afeksi, empati, dan spiritualitas sering kali menjadi pelengkap yang terabaikan. Padahal, pendidikan sejati adalah pendidikan yang menyentuh hati—bukan sekadar mengisi kepala. Pendidikan tidak hanya berperan dalam mentransfer ilmu, tetapi juga dalam membentuk karakter dan nilai moral, mencetak generasi yang cerdas, berintegritas, dan siap menghadapi tantangan masa depan. Dalam konteks inilah, kurikulum cinta menemukan relevansinya. Sehingga, dalam kerangka ini, kurikulum cinta hadir sebagai strategi untuk menanamkan nilai kasih sayang, harmoni, dan peradaban yang berlandaskan sikap saling mencintai.


Menuju Kurikulum Cinta: Apa dan Bagaimana?

Kurikulum cinta bukan sekadar program satu mata pelajaran. Ia bisa diterapkan lintas bidang:

Di pelajaran agama, cinta dapat ditanamkan melalui tafsir ayat-ayat rahmah, kisah-kisah Nabi yang penuh empati, atau praktik ibadah yang menyentuh hati.

Di pelajaran sains, cinta bisa hadir dalam narasi tanggung jawab menjaga ciptaan Allah—ekoteologi, misalnya.

Di pelajaran sejarah, cinta ditanamkan lewat keteladanan tokoh yang berjuang bukan karena benci, tapi karena cinta pada bangsa dan umat.

Dalam pembelajaran Bahasa Arab atau Al-Qur’an, siswa tidak hanya diminta menerjemahkan ayat rahmah dan mencari tahu derivasinya seperti QS. Ar-Rahman, tetapi merenungi nilai kasih sayang yang terkandung di dalamnya.

Penerapannya pun tak hanya lewat teori, tapi lewat budaya sekolah: gaya komunikasi guru, ruang diskusi terbuka, praktik saling menghargai, dan penguatan kesehatan mental siswa.

Saat Pendidikan Menyentuh Hati

Kurikulum cinta bukan sekadar mimpi. Ia adalah keniscayaan jika kita ingin membentuk generasi yang tak hanya cerdas otaknya, tapi juga matang jiwanya. Generasi yang tidak sekadar tahu, tapi juga peduli. Yang tidak hanya pintar berdebat, tapi juga tulus mendengar. Yang tidak hanya mengejar prestasi, tapi juga membawa damai.

Seperti kata Jalaluddin Rumi:

“Didiklah anakmu bukan dengan ketakutan, tapi dengan cinta. Karena cinta membuka kunci semua pintu.”

Maka sudah waktunya kita bergerak dari hati ke hati. Sebab pendidikan sejati adalah cinta yang diwariskan.

Kota Cinta Parepare, 25 Juli 2025


Opini LAINNYA

Dari Eksoterika Agama Ke Esoterika Agama

Nabi Mempermudah, Kita Mempersulit

Beragam Rasa, Tetap Satu Dapur

Haji Serta Fenomena Sosialnya

Kacamata Malaikat

Hijrah Nabi, Hijrah Prestasi