Sebuah ungkapan klasik mengatakan, “Apa yang kita tabur, itulah yang kita tuai". Ungkapan ini berasal dari kebijaksanaan lama bahkan juga muncul dalam Kitab Suci. Dalam surat Rasul Paulus kepada Jemaat di Galatia 6:7 dikatakan, “Jangan sesat! Allah tidak membiarkan diri-Nya dipermainkan. Karena apa yang ditabur orang, itu juga yang akan dituainya." Ayat ini menekankan konsekuensi tindakan kita dan bahwa Allah tidak akan membiarkan kita terhindar dari hasilnya, baik positif maupun negatif. Setiap tindakan kita hari ini akan membentuk masa depan kita, bila tindakan kita baik, masa depan akan baik, sebaliknya bila tindakan kita buruk masa depan kita akan buruk. Inilah hukum sebab akibat atau kausalitas.
Dalam ungkapan yang lain kita dapat katakan “Hijau yang kita tabur, hidup yang kita tuai”. Ungkapan ini berarti bahwa apa yang kita tanam hari ini melalui penghijauan merupakan cara menjaga hidup yang lebih baik dan menjaga udara agar tetap bersih, iklim seimbang, dan bumi yang semakin lestari. Misalnya dengan menanam pohon sebagai tindakan kecil jika dilakukan bersama-sama, akan berdampak besar bagi pemulihan ekosistem, penanggulangan perubahan iklim, peningkatan kualitas hidup manusia dan makhluk lain. Tindakan ini tentu bukan sekadar aktivitas lingkungan, tapi juga komitmen cinta terhadap bumi dan kehidupan.
Dengan kesadaran itulah, Kementerian Agama RI secara serentak pada tanggal 22 April 2025 di seluruh Indonesia akan melakukan penanaman sejuta pohon di masing-masing wilayah kerjanya. Untuk ASN Kanwil Kementerian Agama Provinsi Sulawesi Barat akan menanam pohon Matoa dan pohon-pohon lainnya di berbagai tempat, di halaman rumah ibadah, sekolah, dll. Tindakan ini merupakan salah satu bentuk tanggung jawab moral dan sosial bahkan teologis dalam menjaga alam agar tetap lestari dan harmonis.
Dalam kerangka teoekologi, menanam pohon bukan sekadar pekerjaan fisik, melainkan tindakan iman dan spiritualitas ekologis. Kita diajak untuk ikut ambil bagian dalam karya penciptaan Tuhan dan menjadi rekan-Nya dalam merawat bumi. Setiap pohon yang kita tanam adalah doa yang hidup, tumbuh dalam diam, memberi tanpa pamrih, dan mengajarkan kesetiaan pada kehidupan. Hijau yang kita tabur adalah ajakan untuk bergerak bersama pada lintas agama, generasi, dan komunitas. Ini adalah tindakan kolektif yang membangun kesadaran bahwa kita hidup dalam rumah bersama yang harus dijaga dan dipelihara.
Teoekologi adalah gabungan dari dua kata: "teologi" dan "ekologi". Secara sederhana, teoekologi adalah cabang teologi yang mengkaji hubungan antara manusia, Tuhan, dan lingkungan hidup. Teoekologi mencoba memahami bagaimana ajaran agama terutama ajaran tentang Tuhan dan ciptaan mendorong tanggung jawab manusia terhadap alam semesta.
Teoekologi lahir dari kesadaran bahwa krisis lingkungan (seperti perubahan iklim, pencemaran, dan kepunahan spesies) bukan hanya masalah ilmiah atau teknis, tapi juga masalah moral dan spiritual. Ajaran agama, khususnya dalam tradisi Kristen, sering dilihat memiliki potensi besar untuk menginspirasi kesadaran ekologis. Dalam perspektif teoekologi, alam semesta bukan sekadar benda mati yang bisa dieksploitasi sesuka hati, melainkan ciptaan Tuhan. Segala sesuatu diciptakan oleh Tuhan dan memiliki nilai intrinsik, bukan hanya berguna bagi manusia. Alam dipandang sebagai tempat di mana Allah menyatakan diri-Nya. Dalam semangat St. Fransiskus dari Assisi, makhluk hidup lain dianggap sebagai "saudara" dan "saudari", bukan objek semata.
Teoekologi menekankan bahwa manusia dipanggil bukan untuk menguasai, tetapi untuk merawat dan menjaga ciptaan. Ini sejalan dengan mandat dalam Kitab Kejadian, di mana manusia diminta untuk "mengusahakan dan memelihara" taman Eden. Dokumen penting dalam pengembangan teoekologi modern adalah ensiklik Laudato Si' (2015) oleh Paus Fransiskus, yang berbicara tentang "perawatan atas rumah bersama kita". Dokumen ini berisi mengenai krisis lingkungan adalah krisis spiritual dan moral, keadilan ekologis tak bisa dipisahkan dari keadilan sosial (misalnya, dampak perubahan iklim lebih dirasakan oleh orang miskin). Manusia harus membangun relasi harmonis dengan alam, bukan eksploitatif.
Implikasi teoekologi adalah untuk mendorong perubahan cara hidup, seperti gaya hidup sederhana dan berkelanjutan, konsumsi yang bertanggung jawab, keterlibatan dalam gerakan pelestarian lingkungan. Pendidikan ekologi dalam keluarga, gereja, dan masyarakat, Maka, dengan penanaman pohon membantu untuk menyerap karbon dioksida (CO₂) dan mengurangi dampak perubahan iklim serta menahan erosi tanah dan mencegah banji, menyediakan oksigen, memperbaiki kualitas udara, menjadi habitat bagi satwa liar.
Dalam kerangka teoekologi, menanam pohon bisa dipahami sebagai: tindakan spiritual dan moral, karena manusia dipanggil untuk "memelihara ciptaan" (bdk. Kejadian 2:15). Ungkapan syukur kita atas bumi sebagai karunia Tuhan dengan cara menjaga dan merawatnya. Sikap bela rasa terhadap generasi mendatang, karena pohon yang ditanam hari ini akan memberi manfaat untuk masa depan. Paus Fransiskus dalam Laudato Si juga menyuarakan pentingnya "ekologi integral", di mana kepedulian pada lingkungan tidak bisa dipisahkan dari tanggung jawab iman.
Program penanaman sejuta pohon bisa membangun kesadaran kolektif tentang pentingnya lingkungan, mendorong keterlibatan komunitas lintas agama, usia, dan latar belakang, Menjadi sarana pendidikan ekologis, khususnya bagi anak muda, menumbuhkan nilai gotong royong dan tanggung jawab bersama, Menanam pohon adalah simbol harapan bahwa perubahan itu mungkin dan bahwa manusia mampu memperbaiki kerusakan yang telah terjadi, Dalam banyak budaya dan agama, pohon melambangkan kehidupan, pertumbuhan, dan ketekunan. Maka, program ini bukan hanya soal "jumlah", tapi tentang membangun budaya ekologis baru. Maka itu, ungkapan “Hijau yang kita tabur, hidup yang kita tuai” mengajak kita melihat menanam pohon bukan hanya sebagai aksi lingkungan, tapi sebagai perjalanan spiritual, sosial, dan ekologis menuju dunia yang lebih adil, damai, dan lestari. Apa yang kita lakukan hari ini akan dinikmati oleh generasi mendatang. Ayo kita menaman satu pohon!