Tahajjud Sosial

Ilham Sopu 

Judul diatas tidak familier dalam istilah keagamaan, istilah tahajjud itu berkaitan dengan shalat malam yang sangat dianjurkan oleh Nabi. Dalam term keagamaan tidak ada istilah tahajjud sosial, antara tahajjud dan sosial dua hal yang berbeda, yang satu berkaitan dengan hubungan manusia dengan Tuhannya, dan yang lain berkaitan dengan hubungan antar sesama manusia. Istilah tahajjud sosial cuma terinspirasi dengan pemikiran Almarhum KH Ahmad Sahal Mahfudz, yang populer disapa Kyai Sahal mantan ketua umum MUI pusat. Kyai Sahal terkenal sebagai tokoh yang banyak membincang fiqh dalam konteks sosial, pemikiran Kyai Sahal sangat maju, disamping penguasaannya tentang kitab klasik yang sangat dalam, Kyai Sahal juga mencoba memberikan penafsiran yang kontekstual terhadap kitab-kitab fiqh klasik tersebut. Salah satu bukunya yang terkenal tentang kontekstualisasi fiqh adalah buku "nuansa fiqh sosial". Buku ini merupakan kumpulan tulisan-tulisan Kyai Sahal tentang berbagai persoalan yang banyak muncul dalam masyarakat, mulai menyoroti pendidikan kepesantrenan, pendidikan secara umum, kebudayaan, ekonomi kerakyatan, sosiologi kemasyarakatan. dan tema-tema yang lain yang terkait dengan kontekstualisasi pemikiran fiqh dalam Islam.

Merujuk kepada fiqh sosial yang coba digaungkan oleh Kyai Sahal, tulisan ini mencoba untuk menggali perspektif tahajjud dalam konteks sosial. Tahajjud bukanlah ibadah ritual yang tidak punya konteks diluar dirinya sendiri. Ibadah ini membutuhkan konsentrasi yang tinggi atau khusu' karena dilakukan pada tengah malam yang sunyi tanpa ada suara-suara bising yang mengganggu konsentrasi. Akses menuju Tuhan lewat pelaksanaan shalat tahajjud, itu sangat terbuka, ibarat jalan tol menuju Tuhan. Tahajjud ini adalah jalan kenabian, karena Nabi mewajibkan dirinya untuk melaksanakan tahajjud. Dalam pandangan Al-Qur'an tahajjud ini sangat dianjurkan, karena posisi manusia dihadapan Tuhan bagi yang melaksanakan tahajjud akan mendapat tempat yang terpuji dihadapan Tuhan, atau yang dalam istilah Al-Qur'an disebut "Maqam Al Mahmudah", ini adalah salah satu prestasi ibadah yang sifatnya personal bagi yang melaksanakan ibadah tahajjud, Tuhan banyak memberikan jalan untuk hambanya guna mendekatkan diri kepadanya. Jalan menuju Tuhan begitu terbuka, namun kadang manusia tidak menyadari dan tidak tertarik pada jalan-jalan tersebut.

Namun demikian, seluruh ibadah dalam Islam yang sifatnya ritual mestilah punya aspek sosial, ada visi kemanusiaan yang dikandung dalam ibadah-ibadah ritual yang sifatnya personal, penamaan ibadah ritual dan ibadah sosial, itu hanya sekedar mempermudah dalam menjelaskan pengertian agama kepada umat, namun demikian secara substansi, dikotomis tersebut dalam realitas itu tidak berlaku lagi, dalam sejarah kenabian, Nabi tidak pernah memberikan contoh, yang mana ibadah ritual dan yang mana ibadah sosial. Kedua ibadah tersebut menyatu dalam diri Nabi, praktek peribadatan langsung dicontohkan dan dijalankan oleh Nabi, dan kadang Nabi memberikan penjelasan secara verbal ketika para sahabat bertanya tentang sesuatu hal kepada Nabi. Namun secara keseluruhan Nabi lebih banyak memberikan uswatun Hasanah kepada para sahabatnya. Ini dapat kita  baca salah satu hadis Nabi yang amat populer yaitu " Shalatlah engkau sebagaimana engkau melihat aku shalat", ini artinya bahwa betapa Nabi menyampaikan ajaran agama, banyak memberikan contoh yang baik kepada para sahabatnya.

Diantara shalat sunnat yang paling dianjurkan oleh Nabi dan Al-Qur'an memberikan isyarat yang jelas tentang kedudukan yang diberikan oleh Tuhan terhadap orang yang melaksanakan shalat tahajjud, ada janji Tuhan akan diberikan tempat yang nyaman dan mendapat pujian dari Tuhan. Betapa orang yang melakukan tahajjud akan menikmati ibadah yang nyaman, namun itu sifatnya akan sangat personal, suatu ibadah yang menguntungkan secara pribadi, namun demikian seharusnya punya efek sosial. Semakin dekat seseorang kepada Tuhan lewat ibadah ritual yang dia kerjakan, tentunya juga semakin bagus ibadah sosialnya. Beribadah dengan benar  bukan hanya saleh ritual, tetapi juga saleh secara sosial, dalam pandangan KH Mustofa Bisri, yang lebih sering dipanggil Gus Mus seorang Kyai yang sangat produktif dalam menulis, mengungkapkan bahwa ungkapan dikotomis yang sungguh tidak menguntungkan bagi kehidupan beragama di kalangan kaum muslim, yaitu ungkapan tentang adanya kesalehan ritual di satu pihak dan kesalehan sosial di pihak yang lain. Lanjut Gus Mus bahwa kesalehan dalam Islam hanya satu, yaitu kesalehan muttaqi (hamba yang bertaqwa),atau mukmin yang beramal saleh, suatu kesalehan yang mencakup sekaligus ritual dan sosial.

Dalam konteks tahajjud yang identik dengan kesalehan ritual, hanya akan bermakna bila bias tahajjud itu punya dampak sosial, atau visi kemanusiaan terhadap sesama. Dengan kata lain tahajjud yang sifatnya vertikal kepada Tuhan, mestilah diterjemahkan menjadi tahajjud yang horizontal, yang punya visi kemanusiaan dan menjaga lingkungan secara holistik.

(Bumi Pambusuang, 24 September 2024).


Wilayah LAINNYA